BAB I 
PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang 
Dalam penelitian kuantitatif,  peneliti   akan   menggunakan   instrumen   untuk mengumpulkan data, sedangkan dalam penelitian kualitatif-naturalistik  peneliti  akan  lebih banyak menjadi instrumen, karena dalam penelitian kualitatif  peneliti  merupakan  key instruments.  Instrumen  penelitian  digunakan  untuk  nilai  variabel  yang  diteliti. Dengan demikian, jumlah instrumen yang akan digunakan untuk penelitian akan tergantung pada jumlah variabel yang  diteliti.  Bila  variabel  penelitiannya  liam,  maka  jumlah   instrumen yang  digunakan  untuk  penelitian   juga   lima.   Instrumen-instrumen   penelitian   sudah   ada  yang  dibakukan,  tetapi  masih  ada  yang  harus  dibuat  oleh  seorang  peneliti.  Karena instrumen penelitian akan digunakan  untuk  melakukan  pengukuran  dengan  tujuan menghasilkan data kuantitaif yang akurat, maka setiap instrumen harus mempunyai skala. Teknik membuat skala, menurut Nazir (1999:287) adalah cara mengubah faktafakta kualitatif yang melekat pada  objek  atau  subjek  penelitian  menjadi urutan kuantitatif. Pembuatan skala pengukuran ini dibuat dengan  mendasarkan  pada  dua asumsi, yaitu ilmu pengetahuan pada akhir-akhir ini  lebih  cenderung  menggunakan prinsip-prinsip  matematika  dan  ilmu   pengetahuan   semakin   menuntut   presisi   yang   lebih baik utamanya dalam hal mengukur gradasi. Dalam membuat skala,  peneliti  harus mengasumsikan bahwa fakta dalam  fakta  mengandung  suatu  kontinum  yang  nyata  berasal dari sifat-sifat tertentu. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam metode ilmiah.
Data yang dikumpulkan haruslah cukup valid untuk digunakan. Validitas data dapat ditingkatkan jika alat pengukur serta kualitas dari pengambilan data cukup valid. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai pengaturan, berbagai sumber dan berbagai cara.
Dalam penelitian, teknik pengumpulan data merupakan faktor penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara mengumpulkan 

data, siapa sumbernya, dan apa alat yang digunakan. Jenis sumber data adalah mengenai dari mana data diperoleh. Apakah data diperoleh dari sumber langsung (data primer) atau data diperoleh dari sumber tidak langsung (data sekunder). 
Jika dilihat dari sumber data, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sekunder. Bila dilihat dari cara atau teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara, angket, pengamatan, atau gabungan ketiganya. Data yang sudah didapat ini diukur dengan menggunakan skala pengukuran. Instrumen memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan mutu suatu penelitian, karena validitas atau kesahihan data yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh kualitas atau validitas instrumen yang digunakan. Jika kualitas instrumen yang digunakan tidak baik dalam arti mempunya validitas dan reliabilitas yang rendah, maka data yang diperoleh juga tidak valid atau tidak sesuai. 

1.2 Rumusan Masalah  1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan Skala Pengukuran serta macam-macam bentuknya ? 1.2.2 Apakah yang dimaksud dengan Teknik pengumpulan Data serta bentukbentuknya? 

1.3 Tujuan  1.3.1 Mendeskripsikan definisi Skala Pengukuran serta mengetahui macammacam Skala pengukuran. 1.3.2 Mendeskripsikan Definisi Teknik pengumpulan data serta menegetahui bentuk-bentuk dari Teknik pengumpulan data. 






BAB II 
PEMBAHASAN 
2.1 Skala Pengukuran 
Skala  pengukuran  merupakan  kesepakatan  yang  digunakan  sebagai  acuan  untuk menentukan panjang pendeknya interval  yang  ada  dalam  alat  ukur,  sehingga  alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Sebagai contoh, misalnya timbangan emas sebagai instrumen  untuk  mengukur  berat  emas,  dibuat dengan skala mg dan akan menghasilkan data kuantitatif berat emas dalam satuan mg bila digunakan untuk mengukur. Berbagai skala sikap yang dapat digunakan untuk penelitian Administrasi, Pendidikan dan Sosial antara lain adalah : 2.1.1 Skala Likert Menurut Nazir (1983: 297), Rensis Likert telah mengembangkan sebuah skala untuk mengukur sikap masyarakat di tahun 1932 yang sekarang terkenal dengan nama skala Likert. Berbeda dengan skala Thurstone, di mana dipilih itemitem yang mempunyai distribusi yang baik, yang dipilih dari hal-hal yang ingin diketahui (baik, tidak baik, tentang koservatisme, pesimis dan sebagainya) di dalam skala, skala Likert menggunakan hanya item yang secara pasti baik dan secara pasti buruk, tidak dimasukkan yang agak baik, yang agak kurang, yang netral, dan ranking lain di antara dua sikap yang pasti di atas. Item yang pasti disenangi, disukai, yang baik, diberi tanda negative (-). Skor respon responden dijumlahkan dan jumlah ini merupakan total skor, dan total skor inilah ditafsirkan sebagai posisi responden dalam skala Likert. Skala Likert menggunakan ukuran ordinal, karenanya hanya dapat membuat ranking, tetapi tidak tidak dapat diketahui berapa kali satu responden lebih baik atau lebih buruk dari responden lainnya dalam skala. Prosedur dalam membuat skala Likert adalah sebagai berikut: 1. Peneliti mengumpulkan item-item yang cukup banyak, relevan dengan masalah yang sedang diteliti, dan terdiri atas item yang cukup jelas disukai tidak disukai. 2. Kemudian item-item tersebut dicoba secara sekelompok responden yang cukup representative dari populasi yang ingin diteliti. 3. Responden di atas diminta untuk mengecek tiap item, apakah ia menyenangi (+) atau tidak menyukai(-). Responsi tersebut dikumpulkan dan jawaban yang 

memberikan indikasi menyenangi diberikan skor tertinggi. Tidak ada masalah untuk memberikan angka 5 untuk yang tertinggi dan skor 1 untuk yang terendah atau sebaliknya. Yang penting adalah konsistensi dari arah sikap yang diperlihatkan. Demikian juga, apkah jawaban”setuju” atau “tidak setuju”  disebut yang disenangi, tergantung dari isi pernyataan dan isi dari item-item yang disusun. 4. Total skor dari masing-masing individu adalah penjumlahan dari skor masingmasing item dari individu tersebut. Menurut Silaen (2013: 127- 131),  dalam skala Likert nilai skor tertinggi diberikan untuk alternatif jawaban yang sangat diharapkan peneliti sesuai dengan tujuan penelitian, dan nilai skor terendah diberikan pada alternative jawaban yang sangat tidak diharapkan. Seperti contoh salah satu item pertanyaan di bawah ini yang dijawab oleh sejumlah mahasiswa sebagai responden. 
Pertanyaan dengan kalimat positif: Apakah anda setuju jika Rektor mendukung aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)? 
Sangat setuju, diberi skor   5 Setuju, diberi skor    4 Cukup setuju, diberi skor   3 Tidak setuju, diberi skor   2 Sangat tidak setuju, diberi skor  1 

Pertanyaan dengan kalimat negative (menidakkan): Apakah anda setuju jika Rektor tidak mendukung aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ? Sangat setuju, diberi skor   5 Setuju, diberi skor    4 Cukup setuju, diberi skor   3 Tidak setuju, diberi skor   2 Sangat tidak setuju, diberi skor  1 


  Kemudian kuesionir disebarluaskan untuk dijawab sejumlah mahasiswa, misalnya sebanyak 100 orang. Setelah dilakukan tabulasi data, hasil jawaba responden seperti tertuang dalam table di bawah ini.    Tabel 1. Tanggapan responden atas dukungan Rektor No.  Tanggapan  Frekuensi (Fi) Skor (Si) FiSi 1. 2. 3. 4. 5. Sangat setuju Setuju Sukup setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju 20 47 20 10 3 5 4 3 2 1 100 188 60 20 3 
 Jumlah  100  371 

Kemudian untuk analisis data dapat digunakan dua alternatif analisis dengan hasil yang sama, yaitu (1) Analisis Interpretasi Rata-rata Skor dan (2) Analisis Interpretasi Rata-rata Presentase. 1. Analisis Interpretasi Rata-rata Skor Dalam analisis ini ditentukan criteria interpretasi skor yang diawali dengan menentukan interval kelas dari dari setiap gradient alternative jawaban yang disebut ktegori dengan rumus:   CI = 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 𝐶  Keterangan: CI  = class interval (kelas interval) Range   = skor tertinggi-skor terendah C  = jumlah kelas (umumnya sama dengan jumlah alternative jawaban) 

Dengan demikian interval kelas = 5−1 5
= 0,8 kemudian dapat disusun table 
criteria interpretasi skor, sebagai berikut:   Tabel 2. Kriteria Kategori berdasarkan Interval skor No. Interval kelas kategori 

1. 2. 3. 4. 5. 
1,00 – 1,79 1,80 – 2, 59 2,60 – 3,39 3,40 – 4,19 4,20 – 5,00 
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju 

Selanjutnya untuk menentukan prediksi skor rata-rata dari hasil jawaban responden dengan rumus: 

𝑀 ̅ = ∑(𝐹𝑖−𝑠𝑖) 𝑛

Keterangan : M = nilai prediksi skor rata-rata Fi  = frekuensi baris ke-i Si  = skor baris ke-i n = jumlah responden Berdasarkan data dalam tabel 2di atas maka nilai prediksi rata-rata skor adalah: 
𝑀 ̅ = ∑(𝐹𝑖−𝑠𝑖) 𝑛
 = 371 100 = 3,71 Nilai prediksi/interpretasi skor rata-rata sebesar 3,71 dan bila dikonsultasikan dengan kriteria kategori, maka skor 3,71 berada pada rentang 3,40 – 4,19 atau berada pada kelas ke-4 dengan kategori “setuju”. Dengan demikian tanggapan rata-rata responden atas dukungan Rektor terhadap aktivitas UKM diinterpretasi/diprediksi dengan kategori “setuju”. 2. Analisis Interpretasi Rata-rata Presentase Dalam analisis ini ditentukan criteria interpretasi presentase yang diawali dengan menetukan interval kelas dalam persentase dari setiap kategori dengan rumus 1. Nilai persentase terendah adalah jumlah frekuensi sebanyak sampel atau ∑𝐹 = 𝑛  dan skor (S) = 1 dengan rumus: PR = 𝑆∑𝐹 𝐴.𝑛 𝑥100%   Keterangan  
10 

  PR = persentase terendah   S = skor- 1   ∑𝐹 = jumlah frekuensi n = jumlah sampel A = jumlah alternative jawaban- 5 

2. Nilai persentase tertinggi adalahjumlah frekuensi sebanyak sampel atau  ∑𝐹 = n dan skor (S)= 5, dengan rumus : PT= 𝑆∑𝐹 𝐴.𝑛 𝑥100% 

Keterangan :   PT = persentasetertinggi   S = skor- 1   ∑𝐹 = jumlah frekuensi n = jumlah sampel A = jumlah alternative jawaban= 5 

3. Interval kelas dengan rumus: 
CI = 𝑃𝑇−𝑃𝑅 𝐶

Keterangan: CI = class interval (kelas interval) C = jumlah kelas (umumnya sebanyak jumlah alternative kelas) Dengan demikian interval kelas = 100%−20% 5 = 16%, kemudiandapat disusun table kriteria interpretasi persentase sebagai berikut. Table 3. Kriteria kategori berdasarkan interval % No. Interval kelas Kategori 1. 2. 3. 4. 5. 20% - 35,99% 36% - 51,99 52% - 67,99% 68% - 83,99% 84% - 100% Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju 
11 


Selanjutnya untuk menetukan prediksi skor persentase dari hasil jawaban responden digunakan rumus:    

𝑃 ̅= ∑(𝐹𝑖−𝑠𝑖) 𝐶.𝑛
 100% 
Keterangan  P = nilai prediksi rata-rata persentase Fi  = frekuensi baris ke-i Si  = skor baris ke-i C = jumlah kelas yang dikehendaki biasanya = jumlah alternative yang jawaban   Berdasarkan data dalam table 3 di atas nilai prediksi rata-rata persentase adalah: 
𝑃 ̅= ∑(𝐹𝑖−𝑠𝑖) 𝐶.𝑛
 100%= = 371 500
𝑥100% = 74,2. 

2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Skala Likert  Menurut Silaen (2013: 126-127), skala Likert ini menjadi popular di kalangan peneliti maupun mahasiswa yang sedang menyusun skripsi dan tesis, karena ada sejumlah keuntungannya, antara lain: 1. Terdapat banyak kemudahan, di antaranya; (1) Penyusunan sejumlah pertanyaan mengenai sifat atau sikap tertentu relative muda; (2) Penentuan nilai skor juga mudah karena setiap alternative jawaban diberi bobot berupa angka yang mudah dijumlahkan; (3) Menafsirkan juga relatif mudah yaitu skor yang lebih tinggi menunjukkan sikap yang lebih tinggi taraf atau intensitasnya dibandingkan dengan skor yang lebih rendah. 2. Skala Likert mempunyai reliabilitas yang relative tinggi dalam mengurutkan intensitas sikap karena skor untuk setiap alternative jawaban juga mengukur intensitas sikap responden terhadap pertanyaan tersebut. 3. Skala Likert sangat fleksibel, lebih fleksibel daripada skala pengukuran lainnya, karena jumlah item pertanyaan dan jumlah alternative jawaban terserah pada pertimbangan peneliti. 
12 

Sedangkan kelemahan dari skla Likert ini menurut Nazir (1983:298) adalah sebagai berikut 1. Ukuran yang digunakan adalah ukuran ordinal, skala Likert hanya dapat mengurutkan individu dalam skala, tetapi tidak dapat membandingkan beberapa kali satu individu lebih baik darpada individu lain. 2. Kadangkala total skor dari individu tidak memberikan arti yang jelas karena banyak pola respons terhadap beberapa item akan memberikan skor yang sama. 

2.1.2 Skala Gatman 
Menurut Yusuf (2014: 228-229), skala Guttman atau disebut juga scalogram analysis. Dikembangkan Oleh Louis Guttman dan lebih rumit dari skala Likert dan Thurstone. Skala ini: 1. Merupakan skala kumulatif dan ordinal 2. Hanya mengukur satu dimensi saja dari satu variable yang multidimensi, karena itu skala ini disebut juga dengan unidimensional. Seandainya suatu skala disusun berdasarkan atas tingkat pemahaman masyarakat tentang modernisasi, maka skor yang didapat tiap responden dalam skala ini hanya menunjukkan tingkat/kadar sejauh mana sesorang menerima sikap atau konsep tentang modernisasi. 2.2.1 Langkah –langkah dalam Menyusun Skala Guttman Adapun langkah nya ialah sebagai berikut: 1. Susunlah sejumlah pertanyaan yang sesuai dengan masalah yang akan diselidiki dengan terlebih dahulu menentukan sub-subvariabelnya dalam satu pool. a. Susun pernyataan deskriptif mengenai universe yang diselidiki b. Utir-butir soal hendaklah mewakili sikap yang diukur c. Tetapkan soal itu dengan baik dalam sheet dengan dua kemungkinan jawaban “ya” dan “tidak”. 2. Uji coba skala a. Administrasikan skala itu pada sampel yang diperkirakan memiliki karakteristik yang hamper sama dengan populasi penelitian. b. Semua butir soal diskor dengan cara yang telah ditentukan terlebih dahulu. 
13 

c. Skor ditentukan untuk tiap responden. Umumnya tiap responden adalah jumlah jawaban yang positif. 3. Penyusunan Skala a. Susun suatu chart b. Setelah semua responden selesai diskor, maka kegiatan berikutnya mengatur/menyusun kembali menurut rnking, dengan tidak memberbaiki letak butir soal. c. Setelah semua responden diurutkan, maka langkah berikutnya mengatur kembali butir soal. 4. Kegiatan berikutnya menghitung indeks reprodusiilitas a. Indeks ini dihitung untuk menetukan apakah respon yang diberikan menunjukkan kualiats yang kuat dalam kaitan dengan total skor yang tertinggi. b. Untuk menghitung indeks itu dapat digunakan rumus: R = I – 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛
 Keterangan: R    = jumlah reprodusibilitas Jumlah kesalahan = jumlah kesalahan dalam skala c. Jika indeks reproduksibilitas kecil dari 0,9, maka skala itu tidak memuaskan    untuk digunakan. d.  Indeks reprodusibilitas hanya mengukur ketepatan alat yang dibuat, sedangkan koefisien skalabilitas menunjuk kepada baik tidaknya skala itu digunakan. e. Langkah selanjutnya menghitung koefisien skalabilitas    Ks= 1 – 𝑒 0,5 𝑚
 Keterangan  Ks    = koefisien skalabilitas e = jumlah kesalahan (error) m = jumlah total kesalahan, yaitu jumlah respon yang dikurangi total  jawaban “ya”  

14 

  Menurut Silaen (2013: 132-134), sebagai contoh di bawah ini disusun sebanyak 5 pertanyaan berjenjang mengenai sikap pegawai negeri (10 0rang) terhadap bekas narapidana. Dalam praktiknya, responden minimal 50 orang. 1. Apakah anada setuju bila bekas Napi yang tinggal berdekatan dengan rumah anda harus dipindahkan? 1). Setuju    2). Tidak setuju  5. Apakah anda setuju bila bekas Napi bekerja sebagai pegawai negeri harus dipecat? 1). Setuju    2). Tidak setuju 6. Apakah anada setuju buku yang dikarang oleh bekas napi, perlu dibuang dari perpustakaan? 1). Setuju    2). Tidak setuju 7. Apakah anda setuju bekas Napi dikeluarkan ke luar daerah anda? 1). Setuju    2). Tidak setuju 8. Apakah anda setuju jika bekas Napi tidak diperbolehkan berbicara dalam rapat umum? 9.  1). Setuju    2). Tidak setuju Kemudian hasil jawaban ditabulasi ke dalam table Guttman Tabel 4. Tabel Guttman  

No. Respon 
Pertanyaan dan skor jawaban Total skor 1 2 3 4 5 1. 1 1 0 1 1 4 2. 1 0 1 1 1 4 3. 0 E 1 1 1 3 4. 0 1 0 E 1 2 5. 0 0 0 0 1 1 6. 1 1 0 1 1 4 7. 1 0 1 1 1 4 8. 0 E 1 1 1 3 9. 0 1 0 E 1 2 10. 0 0 0 0 1 1 
15 

Total skor 4 4 4 6 10 28 Total error 0 2 0 2 0 4 

Langkah terakhir adalah melakukan analisis data dengan menggunakan Analisis Interpretasi Rata-rata Skor, atau Analisis Koefisien Reprodusibilitas dan skalabilitas. 1. Analisis Interpretasi Rata-rata Skor Dalam analisis ini ditentukan criteria interpretasi skor sebagai berikut Table 5. Kriteria Kategori berdasarkan Interval Skor No. Interval kelas Kategori 1. 0,00 – 0,49 Skala Guttman tidak baik atau tidak dapat dipercaya  2. 0,50 – 1,00 Skala Guttman baik atau dapat dipercaya 

Selanjutnya untuk menentukan prediksi skor rata-rata dari hasil jawaban responden digunakan rumus: 
𝑀 ̅= 𝑇𝑆 𝑛.𝑚


Keterangan:  𝑀 ̅ = nilai prediksi skor rata-rataT5 = total skor      n = jumlah responden dan m = jumlah pertanyaan Berdasarkan data dalam table 4 di atas, maka nilaiprediksi rata-rata skor adalah  
𝑀 ̅= 𝑇𝑆 𝑛.𝑚 = 28 10(5)
= 0,56 

  Nilai prediksi/interpretasi skor rata-rata sebesar0,56 dan bila dikonsultasikan dengan kriteria kategori, maka skor 0,56 berada pada rentang 0,50- 1,00. Dengan demikian skala Guttman baik atau dapat dipercaya. 2. Analisis Koefisien Reprodusibilitas dan Skalabilitas  Koefisien Reprodusibiitas dinotasikan Kr dengan ketentuan Kr > 0,90 maka skala Guttman dianggap baik. Koefisisen reprodusibilitas adalah untuk mengukur derajat ketepatan alat ukur (daftar pertanyaan) yang disusun. Nilai koefisisen ini dihitung dengan menggunakanrumus: Kr = 1 – 𝑒 𝑛.𝑚

16 

Keterangan: e  = jumlah kesalahan (error) m  = jumlah pertanyaan n  = jumlah responden 

Berdasarkan data dalam table 4, maka nilai  koefisisen reprodusibilitas adalah: Kr = 1 – 𝑒 𝑛.𝑚 = 1– 4 10(5) = 0,92 Nilai koefisisen reprodusibilitas= 0,92 > 0,90. Dengan demikian skala Guttman dianggap baik atau dapat dipercaya.  Langlah selanjutnya adalah menentukan koefisisen skalabilitas dinotasikan Ks dengan ketentuan Ks > 0,60 maka skala Guttman baik. Nilai koefisisen skalabilitas ini dihitung menggunakan rumus Ks = 1 – 𝑒 𝑝(𝑛.𝑚−𝑇𝑆)
 Keterangan: e  = jumlah error n  = jumlah responden m  = jumlah pertanyaan TS  = total skor P  = probabilitas jawaban yang benar=0,5 Berdasarkan data pada table di atas , maka nilai koefisisen skalabilitas adalah: Ks = 1 – 𝑒 𝑝(𝑛.𝑚−𝑇𝑆) =  1 – 4 0,5(10.5−28) = 1 – 𝑒 0,5(22) = 0,64 Nilai koefisisen skalabilitas = 0,64 > 0,60. Dengan demikian skala Guttman dianggap baik atau dapat dipercaya. 

2.1.2.2 Kelebihan dan kekurangan skala Guttman Menurut Nazir (1983: 299), bahwa ciri penting dari skala ini adalah 1. Skala Guttman merupakan skala kumulatif. Jika seseorang mengiyakan pertanyaan atau pernyataan yang berbobot lebih berat, maka ia juga akan mengiyakan pertanyaan yang kurang berbobot lainnya. 2. Skala Guttman ingin mengukur satu dimensi saja dari suatu variable yang mutidimensi sehingga skala ini termasuk mempunyai sifat unidimensional. 
17 


Adapun kelemahan dari skala ini menurut Yulianto (2015: 5) yang dikutip dari (Gothwal, dkk, 2009) adalah sebagai berikut: 1. Pertama, skala Guttman lebih jarang digunakan dikarenakan item-item lebih sulit dibuat dibandingkan skala Likert. Hal ini dikarenakan penggunaannya terbatas untuk topik-topik tertentu dan tidak dimungkinkan banyak variasi 2. Kedua, item pada skala Guttman jarang sekali lebih dari delapan item karena bila terlalu banyak maka tidak akan tercapai unidimensionalitas dan urutandalam suatu kontinum. Akibatnya, kemampuanskala menjadi terbatas untuk membedakan partisipan secara detil. 3. Ketiga, karena menghasilkan skala ordinal, maka tidak ada informasi yang dapat digunakan untuk menyimpulkan interval atau jarak antara item dan partisipan. Adapun kelemahan dari skala ini menurut adalah sebagai berikut: 1. Skala Guttman bisa tidak mungkin menjadi dasar yang efektif baik untuk mengukur sikap terhadap objek yang kompleks ataupun untuk membuat prediksi rentang perilaku objek tersebut. 2. Satu skala bisa saja mempunyai dimensi tunggal untuk satu kelompok tetapi ganda untukkelompok lain, ataupun berdimensi satu untuk satu waktu dan mempunyai dimensi ganda unuk waktu yang lain. 

2.1.3 Skala Samatik 
Skala perbedaan Semantic dikembangkan oleh Osgood, Suci, dan Tannenbaum. Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau untuk mengukur suatu konsep atau objek oleh responden. Skala Semantik ini sama seperti skala Likert. Perbedaannya, skala Semantik disusun dalam skala bipolar yang menyangkut dimensi tiga sifat, yaitu dimensi evaluasi, potensi dan kegiatan. Skala bipolar adalah skala yang berlawanan, seperti aktif-pasif, senang-benci, cepatlambat, dan lain-lain. Sifat bipolar yang dirumuskan dapat berbentuk satu dimensi saja, tetapi bias juga menyangkut ketiga dimensi tersebut (Silaen,2013;138-139). 
18 

Skala ini juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang jawaban “sangat positifnya” terletak dibagian kanan garis , dan jawaban yang “sangat negatifnya” terletak dibagian kiri garis, atau sebaliknya. Data yang diperoleh adalah data interval, dan biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap/ karakteristik tertentu yang dipunyai oleh seseorang (Triana,2013;186). 
As in the Likert scale, the overall scale score may be a summation of individual item scores. Notice that in Likert scales, the statement changes but the anchors remain the same across items. However, in semantic differential scales, the statement remains constant, while the anchors (adjective pairs) change across items. In a semantic differential scale, you name the target concept and ask people to rate their feelings toward it on a series of variables. Semantic differential is believed to be an excellent technique for measuring people’s attitude or feelings toward objects, events, or behaviours. The semantic differential is usually a 7-point scale (Nayak,2015;115). 
Seperti dalam skala Likert, skor skala keseluruhan mungkin merupakan penjumlahan dari skor item individual. Perhatikan bahwa dalam skala Likert, pernyataan berubah tetapi jangkar tetap sama di seluruh item. Namun, dalam skala diferensial semantik, pernyataan tetap konstan, sementara jangkar (pasang kata sifat) berubah di seluruh item. Dalam skala diferensial semantik, Anda memberi nama konsep sasaran dan meminta orang untuk menilai perasaan mereka terhadapnya pada serangkaian variabel. Diferensial semantik diyakini sebagai teknik yang sangat baik untuk mengukur sikap atau perasaan orang terhadap benda, peristiwa, atau perilaku. Diferensial semantik biasanya skala 7-point (Nayak,2015;115). 
2.1.3.1 Langkah-langkah penyusunan skala 
Menurut (Yusuf,2014;232), Sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang ditempuh, dalam penyusunan skala perbedaan semantic (semantic differential); 
a) Pilih konsep yang akan dinilai 1) Konsep tersebut hendaklah relevan dengan topic penelitian. 
19 

2) Konsep itu harus sensitive untuk membedakan kesamaan antara kelompok b) Pilih kata-kata ajektif berpasang 1) Kata-kata ajektif itu (bipolar) berlawanan. 2) Sifat berlawanan itu tidak dimunculkan hanya dengan menambahkan kata tambahan “tidak”, kecuali kalau tidak ada pilihannya. Umpama: Rajin – malas (bukantidak rajin) Tinggi – randah ( bukan tidak tinggi) c) Penempatan kata-kata dalam skala dilakukan secara random  
Procedure: Various steps involved in developing S.D. scale are as follows: 
a) First of all the concepts to be studied are selected. The concepts are usually chosen by personal judgement, keeping in view the nature of the problem. b) The next step is to select the scales bearing in mind the criterion of factor composition and the criterion of scale’s relevance to the concepts being judged (it is common practice to use at least three scales for each factor with the help of which an average factor score has to be worked out). One more criterion to be kept in view is that scales should be stable across subjects and concepts. c) Then a panel of judges are used to rate the various stimuli (or objects) on the various selected scales and the responses of all judges would then be combined to determine the composite scaling. 
  To conclude, “the S.D. has a number of specific advantages. It is an efficient and easy way to secure attitudes from a large sample. These attitudes may be measured in both direction and intensity. The total set of responses provides a comprehensive picture of the meaning of an object, as well as a measure of the subject doing the rating. It is a standardized technique that is easily repeated, but escapes many of the problems of response distortion found with more direct methods.”6  (Kothari,2004;90). 
  Prosedur: Berbagai langkah yang terlibat dalam mengembangkan S.D. skala adalah sebagai berikut: 
20 

a) Pertama-tama konsep yang akan dipelajari dipilih. Konsep biasanya dipilih berdasarkan penilaian pribadi, dengan tetap memperhatikan sifat masalah. b) Langkah berikutnya adalah memilih timbangan yang mengingat kriteria komposisi faktor dan kriteria relevansi skala terhadap konsep yang sedang dinilai (adalah praktik umum untuk menggunakan setidaknya tiga skala untuk setiap faktor dengan bantuan yang rata-rata skor faktor harus dikerjakan). Satu lagi kriteria yang harus diperhatikan adalah bahwa skala harus stabil di seluruh mata pelajaran dan konsep. c) Kemudian panel hakim digunakan untuk menilai berbagai rangsangan (atau objek) pada berbagai skala yang dipilih dan tanggapan dari semua hakim kemudian akan digabungkan untuk menentukan skala komposit. 
Untuk menyimpulkan, “S.D. memiliki sejumlah keunggulan spesifik. Ini adalah cara yang efisien dan mudah untuk mengamankan sikap dari sampel besar. Sikap-sikap ini dapat diukur dalam dua arah dan intensitas. Set total respons memberikan gambaran komprehensif tentang makna suatu objek, serta ukuran subjek yang melakukan penilaian. Ini adalah teknik standar yang mudah diulang, tetapi lolos dari banyak masalah respons distorsi yang ditemukan dengan metode yang lebih langsung” (Kothari,2004;90). 
Contoh: 
Mohon beri nilai mengenai sifat atasan Anda 
Menyenangkan 5  4  3  2  1 Tidak menyenangkan 
Memotiviasi  5  4  3  2  1 Tidak Memotivasi 
Bersahabat  5  4  3  2  1 Tidak Bersahabat 
Disiplin  5  4  3  2  1 Tidak Disiplin 
Komunikatif  5  4  3  2  1 Tidak Komunikatif 
 Responden yang memberikan penilaia angka 5, berarti tanggapan terhadap atasannya sangat positif, dan angka di bawahnya hingga 1 berarti tanggapannya sangat negative. 
21 

 Analisis skala Semantik sama seperti skala Likert dengan menggunakan Prediksi rata-rata skor dan Prediksi rata-rata persentase, yang selanjutnya direkapitulasi untuk memperoleh kesimmpulan (Silaen,2013;138-139). 
2.1.4 Skala Sosiometrik 
Kata sociometry berasal dari bahasa Latin “socius”, yang berarti soial dan “metrum”, yang berarti mengukur. Berdasarkan kata dasar ini, sosiometri digunakan sebagai cara untuk mengukur tingkat antar hubungan individu dalam kelompok. Pengukuran tentang antar hubungan tersebut berguna tidak hanya dalam melakukan assessment terhadap perilaku individu dalam kelompok, tetapi juga untuk melakukan intervensi untuk menghasilkan perubahan positif dan menentukan seberapa luasnya perubahan itu. Dalam kerja kelompok, sosiometri merupakan alat untuk mengukur kekuatan penurunan konflik dan memperbaiki komunikasi, karena sosiometri kelompok membolehkan kelompok untuk melihat dirinya secara objektif dan untuk menganalisis dinamika kelompoknya. Sosiometri ini juga alat yang bagus untuk mengassess (assessing) dinamika dan perkembangan dalam kelompok pencurahan untuk terapi atau pelatihan. Dengan demikian, sosiometri merupakan alat untuk mengukur hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok. Dalam perkembangan bimbingan konseling sekarang ini, sosiometri digunakan sebagai metode pemahaman individu untuk mengukur interaksi sosial dalam suatu kelompok. Popin Dictionary Home Page (2001) mendefinisikan sosiometri sebagai suatu metode yang digunakan untuk mempelajari hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok orang, pengukuran perilaku sosial manusia. Sedangkan sosiogram adalah gambaran untuk mengetahui struktur hubungan para siswa secara jelas, sehingga perlu dibuatkan gambaran tentang struktur hubungan tersebut (Hijrah,2018;45). 
Sociometry: Sociometry is a technique for describing the social relationships among individuals in a group. In an indirect way, sociometry attempts to describe attractions or repulsions between individuals by asking them to indicate whom they would choose or reject in various situations. Thus, sociometry is a new technique of studying the underlying motives of respondents. “Under this an attempt is made to trace the flow of information amongst groups and then examine 
22 

the ways in which new ideas are diffused. Sociograms are constructed to identify leaders and followers.”2 Sociograms are charts that depict the sociometric choices. There are many versions of the sociogram pattern and the reader is suggested to consult specialised references on sociometry for the purpose. This approach has been applied to the diffusion of ideas on drugs amongst medical practitioners (Kothari,2004;90). Sociometry: Sociometry adalah teknik untuk menggambarkan hubungan sosial di antara individu dalam suatu kelompok. Secara tidak langsung, sosiometri mencoba untuk menggambarkan atraksi atau jijik antar individu dengan meminta mereka untuk menunjukkan siapa yang akan mereka pilih atau tolak dalam berbagai situasi. Dengan demikian, sosiometri adalah teknik baru mempelajari motif yang mendasari responden. “Di bawah ini upaya dilakukan untuk melacak aliran informasi di antara kelompok-kelompok dan kemudian memeriksa cara-cara di mana ide-ide baru tersebar. Sociograms dibangun untuk mengidentifikasi pemimpin dan pengikut. ”2 Sociograms adalah bagan yang menggambarkan pilihan sosiometric. Ada banyak versi dari pola sosiogram dan pembaca disarankan untuk berkonsultasi referensi khusus pada sosiometri untuk tujuan tersebut. Pendekatan ini telah diterapkan pada difusi ide tentang obat-obatan di kalangan praktisi medis (Kothari,2004;90). 
Skala sosiometrik dikembangkan oleh J.L Morino dan Helen H yang digunakan dalam suatu kagiatan untuk mengukur penerimaan dan penolakan antarindividu dalam suatu kelompok kecil. Prosdurnya adalah setiap individu diminta untuk menuliskan nama temannya sebanyak dua orang atau lebih untuk mewakili temannya dalam suatu kegiatan. Untuk itu, dittetapkan bahwa nama yang ditulik pada urutan pertama adalah orang yang paling diandalkan dengan memberikan skor tertinggi, dan nama yang dituliskan pada urutan kedua adalah orang yang diandalkan dengan skor dibawah urutan pertama, demikian seterusnya sampai urutan terbawah (Silaen,2013;134-135). 
One of Moreno's innovations in sociometry was the development of the sociogram, a systematic method for graphically representing individuals as points/nodes and the relationships between them as lines/arcs. Moreno, who wrote 
23 

extensively of his thinking, applications and findings, also founded a journal entitled Sociometry. 
Within sociology, sociometry has two main branches: research sociometry, and applied sociometry. Research sociometry is action research with groups exploring the socio-emotional networks of relationships using specified criteria e.g. Who in this group do you want to sit beside you at work? Who in the group do you go to for advice on a work problem? Who in the group do you see providing satisfying leadership in the pending project? Sometimes called network explorations, research sociometry is concerned with relational patterns in small (individual and small group) and larger populations, such as organizations and neighborhoods. Applied sociometrists utilize a range of methods to assist people and groups review, expand and develop their existing psycho-social networks of relationships. Both fields of sociometry exist to produce through their application, greater spontaneity and creativity of both individuals and group (Monir,2012;571572). 
Salah satu inovasi Moreno dalam sosiometri adalah pengembangan sosiogram, metode sistematis untuk menggambarkan individu secara grafis sebagai titik / simpul dan hubungan di antara mereka sebagai garis / busur. Moreno, yang banyak menulis tentang pemikiran, aplikasi, dan penemuannya, juga mendirikan sebuah jurnal berjudul Sociometry. 
Dalam sosiologi, sosiometri memiliki dua cabang utama: sosiometri penelitian, dan sosiometri terapan. Sosiometri penelitian adalah penelitian tindakan dengan kelompok yang mengeksplorasi jaringan hubungan sosio-emosional menggunakan kriteria yang ditentukan misalnya Siapa di grup ini yang ingin duduk di samping Anda di tempat kerja? Siapa dalam kelompok yang Anda datangi untuk meminta saran tentang masalah pekerjaan? Siapa dalam kelompok yang Anda lihat memberikan kepemimpinan yang memuaskan dalam proyek yang tertunda? Kadang-kadang disebut eksplorasi jaringan, penelitian sociometry berkaitan dengan pola relasional dalam kelompok kecil (individu dan kecil) dan populasi yang lebih besar, seperti organisasi dan lingkungan. Sosiometris terapan memanfaatkan berbagai metode untuk membantu orang dan kelompok meninjau, 
24 

memperluas dan mengembangkan jaringan hubungan psiko-sosial yang ada. Kedua bidang sosiometri ada untuk menghasilkan melalui aplikasi mereka, spontanitas yang lebih besar dan kreativitas baik individu maupun kelompok (Monir,2012;571572). 
2.1.4.1 Contoh Uji Sosiometri 
Menurut Suraksha (2014;152), The basic technique in sociometric is the „sociometric test.” This is a test under which each member of a group is asked to choose from all other members those with whom he prefers to associate in a specific situation. The situation must be a real one to the group under study, e.g., „group study‟, „play‟, „class room seating‟ for students of a public school. The typical process for a sociometric intervention follows these basic steps:  
1) Identify the group to be studied  2) Develop the criterion,  3) Establish rapport / warm-up,  4) Gather sociometric data,  5) Analyze and interpret data,  6) Feedback data, either: a. to individuals, or b. in a group setting,  7) Develop and implement action plans. 
Menurut Suraksha (2014;152), Teknik dasar dalam sosiometrik adalah "tes sosiometrik." Ini adalah tes di mana setiap anggota kelompok diminta untuk memilih dari semua anggota lain yang dengannya dia lebih suka bergaul dalam situasi tertentu. Situasi ini harus menjadi nyata bagi kelompok yang diteliti, misalnya, "studi kelompok", "bermain", "ruang duduk kelas" untuk siswa sekolah umum. Proses khas untuk intervensi sosiometrik mengikuti langkah-langkah dasar ini: 
1) Identifikasi kelompok yang akan dipelajari 
2) Kembangkan kriteria, 
25 

3) Menjalin hubungan / pemanasan, 
4) Kumpulkan data sosiometrik, 
5) Analisis dan interpretasikan data, 
6) Data umpan balik, baik: 
a. Sebuah. kepada individu, atau  b. dalam pengaturan grup, 
7) Mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi. 
Contoh: dosen yang mengampu mata kuliah Metodologi Penelitian menugaskan masing-masing kelompok (satu kelompok terdiri 15 mahasiswa) agar mempresentasikan laporan penelitiannya. Untuk itu, setiap kelompok, mahasiswa diwajibkan memilih seorang pemrasaran (pembicara) dan seorang moderator. Pemilihan dilakukan secara skala Sosiometrik (tidak boleh memilih sendiri). Kemudian hasilnya ditabulasi dalam table worksheet dengan menentukan; untuk pilihan pemrasaran diberi skor 2 dan untuk moderato diberikan skor 1. Table worksheet itu dinamakan matrik sosiommetrik atau table sosiogram. 
No Nama A B C D E F G H I J K L M N O 1 A      1          2 B 2         1      3 C      2          4 D 1     2          5 E 1     2          6 F                7 G 1     2          8 H           1 2    9 I  2          1    10 J   1    2         11 K    1           2 12 L     1    2       
26 

13 M    2           1 14 N      2         1 15 O  1          2    Jml Skor 5 3 1 3 1 11 2 0 2 1 1 5 1 2 4 
Jml Pemilih 4 2 1 2 1 6 1 0 1 1 1 3 1 1 3 

Dari hasil tersebut jumlah skor teringgi akan terpilih sebagai pemrasaran dan skor di bawahnya terpilih sebagai moderator. Jika jumlah skornya sama, maka diambil elemen yang jumlah skor 2 terbanyak. Misalkan hasil tabulasinya dalam table berikut. 
Berdasarkan table diatas, yang terpilih sebagai pemrasaran adalah F yeng memperoleh jumlah skor sebesar 11, sedangkan sebagai moderator adalah L dengan junnlah skor sebesar 5. Dalam hal ini A juga memperoleh skor 5, tetapi skor 2 lebih banyak diperoleh L dibandingkan A, sehingga K terpilih sebagai moderator (Silaen,2013;134-135). 
2.1.5 Skala Sofsil Skala sofsil pada prinsipnya sama seperti Skala sosiometrik, perbedaannya skala Sofsil digunakan untuk memberikan penilaian terhadapa beberapa subjek di luar kelompok yang dinilai oleh audiens/ anggota kelompok yang jumlhnya relative banyak, biasanya minimal 50 orang dengan tujuan untuk menentukan peringkat klasifikasi subjek tersebut. Sedangkan skala Sosiometrik digunakan untuk penilaian antarindividu dalam suatu kelompok kecil. Sebagai contoh penggunaan skala sofsil untuk pemilihan penceramah terbaik, baik, dan cukup baik dengan kegiatan Orientasi studi pengenalan Kampus (Ospek), di STIAMI disebut kegiatan STIAMI Intelectual Achievement Program (SIAP) yang dilaksanakan tiga hari. Prosedurnya sebagai berikut: setiap mahasiswa baru diminta untuk menuliskan tiga nama penceramah secara berurut. Untuk itu ditetapkan bahwa yang dituliskan pad aurutan pertama dikategorikan sebagai penceramah terbaik dan diberi skor 2; urutan kedua sebagai penceramah dengan kategori baik dengan skor 
27 

1.5; dan urutan ketiga sebagai penceramah dengan kategori cukup baik dengan skor kemudian data ditabulasi dalam table Sofsil. Berdasarkan data yang dituangkan dalam tebel sofsil tersebut, hasil jumlah skor tertinggi akan dipilih sebagai penceramah terbaik dan skor di bawahnya secara berurutan terpilih sebagai penceramah dengan kategori baik dan cukup baik. Jika jumlah skornya sama, maka diambil elemen dengan jumlah skor 2 yang banyak. Misalnya hasil tabulasinya dibuat dalam table worksheet berikut dengan jumlah responden 50 orang (dalam praktiknya, jumlah responden minimal 50 orang) dan penceramah sebanyak 7 orang, yaitu A s.d G. 
No Nama Penceramah Resp A B C D E F G 1 2  1.5   1  2 2 1   1.5   3     1 2 1.5 4 1   1.5  2  5 1  1.5   2  6 1  1.5   2  7 1    1.5 2  8  1.5  1   2 9 1.5 2   1   10   1 1  1.5 2 11  1.5  1.5  2  12     1 1.5  13 1.5     2  14   1.5  1 2  15  1  1.5  2  Jml Skor 11 7 7 5 7 22 6.5 

Berdasarkan table diatas, yang terpilih sebagai penceramah terbaik adalah F yneg memperoleh jumlah skor sebesar 22, dan penceramah dengan kategoro baik adalah A dengan jumlah skor sebesar 11, dan penceramah dengan kategori cukup 
28 

baik adalaah B dengan jumlah skor sebesar 7. Dalam  hal ini C dan E juga samasama memperoleh skor 7, tetapi ada nilai skor 2 yeng ddiperoleh B, sedangkan C dan E tidak memperoleh skor 2, sehingga B terpilih sebagai penceramah yang dikategorikan cukup baik (Silaen,2013;135-136). 

2.1.6 Skala Bogardus 
Menurut Silaen (2013:137-138), Skala bogardus dikembangkan oleh Emory S. Bogardus. Skala bogardus digunakan untuk mengukur jarak social, yaitu mengukur derajat pengertian atau keintiman dan kekariban sebagai ciri hubungan social secara umum. Misalnya, penerimaan beberapa suku terhadap suku X. Pertanyaan disusun sama seperti skala Guttman, gradasi penerimaan tertinggi sampai terendah. Skor tertinggi diberikan pada pertanyaan (item) yang intensitasnya tertinggi, atau sebaliknya. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis persentase pada masing-masing item yang jawabannya “menerima” atau “menyetujui”, sedangkan jawaban yang “tidak menerima” atau “tidak setuju” tidak dianalisis, dengan rumus: 
𝑃 =
𝐹𝑝 𝑛
𝑥100 
Total skor = (PxS) 
Keterangan :  
P= Persentase 
Fp= Frekuensi yang menerima 
N = jumlah sampel 
S = nilai Skor 
 Skala Bogardus mula-mula dibuat untuk melihat derajat kesediaan menerima orang negro. Aplikasinya dapat saja dibuat untuk ukuran-akuran lain. Misalnya, kita ingin melihat bagaimana beebrapa suku terhadap orang “Padang”. Dalam daftar pertanyaan dibuat sebuah pertanyaan sebagai berikut. 
29 

1. Mau menerima orang Padang kawin dengan sanak family Anda? 2. Mau menerima orang Padang sebagai sobat kental Anda? 3. Mau menerima orang Padang sebagai jiran berdekatan dengan Anda? 4. Mau menerima orang Padang bekerja sekantor dengan Anda? 5. Mau menerima orang Padang dalam satu organisasi dengan Anda? 6. Mau menerima orang Padang sebagai warga desa saja? 
Perlu diingatkan bahwa dalam menyusun pertanyaan di atas, urutan-urutan kualitas harus jelas, di mana gradasinya menurun secara nyata, dari “penerimaan yang tinggi” sampai dengan “penerimaan yang rendah”. Pertanyaan di atas diberi skor 1 untuk jawaban f sampai dengan 6 untuk jawaban a, yang menjawab b diberi skor 5 da yang menjawab e diberi sko 2. Juga dapat dirasakan bahwa mereka yang menjawab a, akan menerima semua jawaban lainnya (menerima b,c,d,e dan f). yang menerima pertanyaan d, akan menerima pertanyaan e dan f, tetapi tidak menerima a, b, dan c. Dengan perkataan lain, pertanyaan dalam skala Bogardus disusun menurut ranking,  dari tinggi ke rendah. 
Misalnya pertanyaan di atas ditanyakan kepada sejumlah responden yang terdiri dari tiga suku yaitu Aceh, Batak dan Bugis. Kemudian kita hitung presentasi dari responden yang menjawab “ya” untuk masing-masing tingkat jarak social di atas. 
Jawaban responden kita tabulasikan seperti tertera pada Tabel 14.1 
Tabel 14.1 
Response dari Responden Terhadap “Penerimaan” Terhadap Orang Asing 
No. Jarak Penerimaan Suku Aceh (%) 
Suku Batak (%) 
Suku Bugis (%) 
6 Kawin dengan sanak Saudara 
90 45 12 
5 Sebagai sobat kental 92 60 21 4 Jiran dekat 95 75 35 3 Kawan sekerja 94 77 50 
30 

2 Kawan seorganisasi 95 86 55 1 Warga desa 5 7 20 

Cara membuat skala Bogardus adalah sebagai berikut: 
a) Kalikan skor dengan persentasi dalam sel matriks b) Jumlah hasil perkalian tersebut untuk masing-masing suku c) Hasil penjumlahan ini adalah skor untuk kelompok suku tersebut, dan total skor ini pula yang menjadi skala. 
Dalam mengartikan skala Bogardus, ada dua asumsi yang harus diterima, yaitu: 
• Jarak social mempunyai suatu kontinum tertentu, dan • Tiap titik dalam skala mempunyai jarak yang sama dengan titik-titik lainnya, tetapi titik nolnya tidak ada. 
Dari asumsi kedua, maka yang dapat kita tafsirkan oleh Skala Bogardus hanyalah ranking dari jarak social. Misalnya, pada contoh diatas, suku Aceh mempunyai skala lebih tinggi dari suku Bugis dalam penerimaan terhadap orang Padang. Dengan perkataan lain, orang Aceh lebih menerima orang Padang dibandingkan dengan orang Bugis. Akan tetapi, walaupun skala untuk suku Aceh memperlihatkan angka 1.386 dan suku Bugis 404, tidak berarti bahwa orang Aceh mempunyai derajat penerimaan terhadap orang Padang lebih dari tiga kali lipat dari orang Bugis. Hal ini tidak dapat disimpulkan karena skala Bogardus menggunakan ukuran interval yang tidak mempunyai titik nol. 
Reliabilitas dari skala Bogardus hanya dapat diuji dengan teknik testretest, sedangkan validitasnya memerlukan pengujian dengan kelompok lain yang sudah diketahui jarak sosialnya dalam berhubungan dengan orang-orang Padang. Jika hasil pengujian cocok untuk kelompok yang telah diketahui jarak sosialnya, maka skla Bogardus yang dibuat mempunyai validitas yang tinggi. 
Asumsi yang mengiringi pembuatan skala Bogardus ini, merupakan kelemahan dari penggunaan skala ini. Karena itu, penggunaan skala ini untuk menghitung jarak social atau aplikasi lainnya hanya digunakan untuk study-study 
31 

yang perlu disiapkan dalam waktu yang tidak lama dan tidak memerlukan presisi yang terlalu tinggi (Nazir.1993:289-291). 
According to Mather (2017: 2), The Bogardus Social Distance Scale employs Guttman’s rank order scaling system to measure the perceived social distance between individuals, particularly those in racial and ethnic groups. Guttman’s binary scale (1950) arranges items in an order so that an individual who agrees with an item also agrees with items of lower rank-order. The items on the binary list suggest that if one of the higher order  questions were true, then all the lower items would be true also. 
2.1.7 Skala Penilaian 
Penggunaan skala penilaian ini, variable penelitian yang dipilih secara rinci, disusun berderet ke bawah, sedangkan kategori skalanya disusun ke samping. Tugas penilai melingkari skor berupa angka dalam kategori yang telah disediakan. Kemudian, skor yang dipilih oleh penilai tersebut ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Umumnya, penilai terdiri dari beberapa orang, dan penilai ini hendaknya orang-orang yang mengetahui bidang yang dinilai. 
Kategori yang dimaksud adalah skala ordinal, antara lain:  
1) Berskala dua, seperti Puas dan tidak puas, tinggi dan rendahm setuju dan tidak setuju, dll. 2) Berskala tiga, seperti: Memadai, Cukup Memadai, dan Tidak Memadai; Tinggi, Sedang dan Rendah; Setuju, Netral dan Tidak Setuju, dll 3) Berskala empat, lima dan dapat dikembangkan sampai Sembilan bahkan sebelas. 
Semakin tinci skala kategori itu, semakin sulit mengidentifikasi datanya, karena kategori yang tinggi dan rendah sering tidak ada penilaian. 
 Contoh penelitian mengenai rencana mendirikan suatu pabrik. Untuk itu, sebagai studi pendahuluan digunakan skala penilaian berskala lima. Analisis skala penilaian sama seperti skala Likert dengan menggunakan prediksi rata-rata skor 
32 

dan prediksi rata-rata persentase, yang selanjutnya direkapitulasi untuk memperoleh kesimpulan (Silaen.2013:139-140). 
1. Skala penilaian Grafik (Graphic Rating Scale) skala penilaian jenis ini paling banyak digunakan. Di sini, subjek diminta untuk mengecek titik tertentu dari suatu kontinum pada suatu garis tertentu. Misalnya “Anda diminta untuk menilai Partai Anu dalam kegiatannya membela nasib rakyat. Ceklah (v) pada titik dimana Parta Anu ditempatkan pada grafik dibawah ini”. 2. Skala penilaian deskriptif Dalam membuat skala penilaian secara deskriptif, kepada penilai hanya diberikan titik awal dan titik akhir untuk menilai subjek dengan skor lain dalam jangka kontinum yang diberikan. Misalnya, kepada penilai diminta menilai beberapa jenis pekerjaan, dengan nilai antara 0 sampai dengan 100. Pekerjaan tersebut misalnya: a) Guru b) Petani c) Polisi d) Dokter e) Gubernur f) Jaksa, dan g) Saudagar, dan sebagainya. 
Kemudian, rata-rata dari nilai untuk masing-masing pekerjaan dicari dan dibuat ranking-nya. Rank  yang tertinggi diberikan untuk rata-rata nilai yang tertinggi dan rank yang terendah untuk rata-rata terendah. Reliabilias skala ini tergantung dari nilai penilai sendiri dan juga dari jumlah item yang disuruh nilai. Validitas dapat diuji dengan berbagai metode yang sudah diterangkan sebelumnya. 
3. Skala Penilaian Komperatif 
Dalam membuat skala penilaian secara grafis maupun deskriptif, tidak terdapat suatu referensi untuk membandingkan penilaian yang diberikan oleh penilai. 
33 

Sebaliknya, dalam skala penilaian komperatif, penilai diberikan suatu perbandingan dengan suatu populasi, kelompok social ataupun sifat yang telah diketahui umum hasilnya. Misalnya, dalam rangka penerimaan calon untuk pascasarjana, maka ditanya apakah si A termasuk dalam 10% terpandai, 40 % terpandai, rata-rata dibawah 40% atau dibawah 10% dari total kelompok pascasarajana yang diketahui, ataupun dari kelompok mahasiswa di dalam kelas penilai sewaktu ia masih dalam program sarjananya. 
 Dalam membuat skala penilaian, beberapa hal dapat menyebabkan terjadinya error sistematik. Pertama, error terjadi karena pengaruh halo (halloeffect). Jika salah satu dari satu subjek yang akan dinilai, penilai dipengaruhui oleh penilaian terhadap sifat pertama ke sifat kedua dan seterusnya, sehingga penilai cenderung kepada konsistensi dalam memberikan penilaian. Kedua, error baik hati, di mana penilai overestimate nilai sebenarnya. Ketiga, errori, kontras, di mana penilai selalu berlawanan dengan dirinya sendiri. 
 Usaha untuk mengurangi error tersebut di atas adalah dengn cara melatih penilai dan memberikan penjelasan kepada penilai akan terjadinya error di atas. Memperjelas definisi dari kriteria yang akan dimulai, juga dapat mengurangi error sistematik (Nazir.2013:294-295) 
 Menurut Usman (2014:62-63), Skala ini digunakan jika diyakini bahwa responden mengetahui bidang yang dinilai. 
Contoh : Skala Penilaian 
Petunjuk: Berilah tanda centang (v) pada batas yang tersedia menurut pertanyaan berikut! 
Perilaku pemimpin saya di kantor adalah 
Bentk ini dapat pula dibuat variasi lainny sebagai berikut. 
Pentunjuk : berilah tanda (x) pada salah satu jawaban yang tersedia sesuai dengan kenyataan yang Anda alami! 
Perilaku pemimpin saya di kantor sehari-hari adalah 
34 

a. Membuat keputusan dan mengumumkannya b. Menjual keputusan c. Memberikan ide dan mengundang pertanyaan d. Memberikan keputusan sementara yang dapat diubah e. Memberikan persoalan, meminta saran-saran, dan membuat keputusan. f. Merumuskan batas-batasnya/ meminta pada kelompok untuk membuat keputusan g. Mengizinkan bawahan untuk melakukan fungsi dalam batas-batas yang dirumuskan atasan. 

2.1.8 Skala Rangking (Ranting Scale) 
Skala peringkat (rating scale) banyak digunakan dalam penelitian ilmu social khususnya mengenai media massa. Pada penelitian dengan menggunakan skala peringkat, peneliti dapat meminta responden untuk dmembuat peringkat dari suatu daftar seperti daftar elemen program yang dapat digunakan pada suatu program siaran TV atau radio, atau membuat peringkat seberapa suka responden terhadap beberapa orang tokoh public. 
 Dalam menggunakan skala peringkat ini, peneliti harus memutuskan tipe skala apa yang akan digunakan. Misalnya menggunakan skala 1 hingga 3; 1 hingga 5; 1 hingga 10; 1 hingga 100; dan seterusnya. Tidak ada suatu ketentuan mengenai tipe skala apa yang harus kita gunakan. Memilih suatu tipe skala lebih merupakan pertimbangan personal, namun terdapat beberapa hal yang harus mendapat pertimbangan sebelum memutuskan menggunakan suatu tipe skala berikut: 
1) Skala yang memiliki lebih banyak poin memiliki kemampuan lebih baik dalam menunjukkan derajat perbedaan (differensial) variable.  
2) Ukuran skala terbaik adalah 1-10. 
Ketika menggunakan skala peringkat sederhana, maka cara yang lebih baik dalam memberikan instruksi kepada responden adalah dengan mengatakan, misalnya “semakin tinggi nilainya, maka Anda semakin suka” dibandingkan 
35 

dengan mengatakan “Gunakan skala 1 hingga 10, dimana “1” berarti sangat tidak suka dan “10” berarti sangat suka” (Morrisan.2012:86-87). 
Menurut Sekaran (2000:199), The itemized rating scale provides the flexibility to use as many  points  in  th scale as considered necessary (4,5, 7, 9, or whatever), and it is also possible t use different anchors (e.g., Very  Unimportant to  Very  Important; Extremely Lo to Extremely High). When a neutral  point  is  provided,  it  is  a  balanced  ratin scale, and when it is not, it is an unbalanced rating scale. Research indicates  that  a  5-point  scale  is  just  as  good  as  any,  and  that  a increase from 5  to  7 or 9 points  on  a  rating  scale  does  not  improve  the  reliabil ity of the ratings (Elmore & Beggs, 1975). The itemized rating  scale  is  frequently  used  in  business  research,  since  i adapts itself to the number of points desired to be used, as well as  the  nomen  clature of the anchors, as is  considered necessary  to  accommodate  the  needs  o the researcher for tapping the variable. According to Royal (2010: 607), Quality rating scales are essential for meaningful measurement in survey research. Because rating scales are the communication medium between the researcher and survey respondents, it is important that “communication validity” is evident in all survey research. Communication validity is the extent to which the survey was developed in a manner that is unambiguous in language, terminology, and meaning for respondents. Further, it is also the extent to which respondents were able to clearly identify the ordered nature of the rating scale response options and accurately distinguish the difference between each category. However, establishing communication validity can be a bit tricky as survey research comes in many shapes and sizes. For example, rating scales may solicit degrees of frequency, agreement, importance, quality, likelihood, and a host of other measures. 
2.2 Teknik Pengumpulan Data 
Menurut Alwan (2017:30), Data adalah bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan informasi atau keterangan yang menunjukkan fakta.  Adapun jenis dan bahan penelitian ini adalah data kuantitatif yang diambil secara 
36 

langsung dari siswa. Data yang diperlukan dalam penilaian ini yaitu: 
1. Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari subjek (responden). Dalam penelitian ini, data primer yang diperoleh berupa faktor-faktor yang mendorong siswa mengikuti bimbingan belajar luar sekolah yang diambil dengan menggunakan instrumen penelitian berupa angket. 
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak sekolah mengenai jumlah siswa. Dalam penelitian ini, data sekunder yang diperoleh berupa data jumlah kelas dan jumlah siswa yang bersumber dari dokumen. Menurut Silaen (2013:141), Pengumpulan data adalah prosedur yang sitematik untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Kegiatan pengumpulan data merupakan kegiatan yang cukup melelahkan dan sering mengalami kesulitan. Pengumpul data (pencacah) menyelusuri rumah demi rumah untuk membagi kuesioner atau melakukan interviu yang kadang-kadang harus berkali-kali datang baru bertemu dengan orang  yang dicari sebagai responden. Jika pencacah tidak sabar dan tidak siap mental, mungkin dapat mengakibatkan keputusasan dan kegagalan dalam penelitian. Di samping itu, jika pencacah melakukan kesalahan sikap dalam proses interviu, akan memengaruhi data yang diberikan responden yang tentu kesimpulan dari hasil pengolahan datanya akan salah juga. Oleh karena itu, pengumpulan data merupakan kegiatan yang sangat penting dalam suatu penelitian. 
2.2.1 Observasi Menurut Usman (2008:52), Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, direncanakan dan dicatat secara sistematis, serta dapat dikontrol keandalan (reliabilitas) dan kesahihannya (validitasnya). 
Menurut Silaen (2013:155), Pengamatan/Observasi adalah kegiatan yang meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu objek penelitian dengan menggunakan seluru indra. Dalam kegiatan ini, dilakukan pencatatan yang sistematis terhadap unsur-unsur yang tampak atau yang dirasakan indra mengenai gejala-gejala yang muncul pada objek penelitian. 
Menurut Sekaran (200:29), Observation is the first stage, in which one 
37 

senses that certain changes are occurring, or that some new behaviors, attitudes, and feelings are surfacing in one‘s environment (i.e., the workplace). When  the  observed  phenomena  are  seen  to have potentially important consequences, one would proceed to the next step. Jadi dapat disimpulkan bahwa observasi adalah  teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. 
Menurut Usman (2008:53), Ada dua indra yang sangat vital di dalam melakukan pengamatan, yaitu mata dan telinga. Oleh sebab itu, kedua indra itu harus benar-benar sehat. Dalam melakukan pengamatan, mata lebih dominan dibandingkan dengan telinga. Mata mempunyai kelemahan-kelemahan, yaitu mudah letih. Untuk mengatasi kelemahan yang bersifat biologis tersebut maka perlu melakukan hal-hal berikut. 
a. Menggunakan kesempatan yang lebih banyak untuk melihat data- data. 
b. Menggunakan orang lain untuk turut sebagai pengamat (observers)  
c. Mengambil data-data sejenis lebih banyak.  
Sedangkan usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan yang bersifat psikologis adalah  
a. Meningkatkan daya penyesuaian (adaptasi)  
b. Membiasakan diri.  
c. Rasa ingin tahu.  
d. Mengurangi prasangka. 
 e. Memiliki proyeksi. 
  Dalam observasi diperlukan ingatan terhadap observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Namun, manusia mempunyai sifat pelupa. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan catatan-catatan (check-list); alat-alat elektronik, seperti tustel, video, tape recorder, dan sebagainya lebih banyak melibatkan 
38 

pengamat; memusatkan perhatian pada data- data yang relevan; mengklasifikasikan gejala dalam kelompok yang tepat; menambah bahan persepsi tentang objek yang diamati.  
Dalam melakukan observasi, peneliti harus dapat memusatkan perhatian dan akhirnya memilih hal-hal yang secara khas menemukan gambaran sesuatu yang bermakna. Pada permulaan observasi peneliti mengamati secara menyeluruh dan dengan ruang lingkup yang luas, kemudian memusatkan diri pada hal-hal yang menjadi fokus penelitianya dan akhirnya memilih hal-hal yang khas dan yang paling relevan untuk diamati dengan lebih cermat. Hal ini seperti yang dikemukakan Spradley (1980) yang mengungkapkan bahwa tahapan observasi ada tiga yaitu; (1) observasi deskriptif, di mana peneliti mengamati semua yang ada secara menyeluruh, mendeskripsikan semua yang diamati, observasi ini disebut juga sebagai grand tour observation; (2) observasi terfokus, di mana pengamatan difokuskan pada aspek tertentu yang menjadi fokus penelitian, observasi ini disebut juga sebagai mini tour observation. dan; (3) observasi terseleksi, di mana peneliti menyeleksi fokus yang ditemukan secara lebih rinci lagi (Djaelani, 2013:86). 

2.2.1.1 Petunjuk-Petunjuk untuk Mengadakan Observasi Menurut Usman (2008:53), Beberapa petunjuk untuk mengadakan observasi adalah pelajari dulu apa observasi itu; pelajari tujuan penelitian; buat cara mencatat yang sistematis; batasi tingkat kategori yang dipakai; lakukan observasi secara cermat dan kritis; catat masing-masing gejala secara terpisah menurut kategorinya; periksa alat bantunya; waktu yang tersedia; hubungan dengan pihak yang diobservasi (observee); intensitas dan ekstensi partisipasi. 
2.2.1.2 Jenis-Jenis Observasi Menurut Usman (2008:54), Jenis-jenis teknik observasi adalah: 1) partisipasi lawannya nonpartisipasi  2) sistematis lawannya nonsistematis  3) eksperimental lawannya noneksperimental  Observasi partisipasi (participant observation) ialah jika observer terlibat langsung secara aktif dalam objek yang diteliti. Keadaan yang sebaliknya disebut 
39 

nonobservasi partisipasi. Sedangkan kehadiran observer yang berpura-pura disebut kuasi observasi partisipasi.  Observasi sistematis atau observasi berkerangka (structured observation) ialah observasi yang sudah ditentukan terlebih dahulu kerangkanya. Kerangka itu memuat faktor-faktor yang akan diobservasi menurut kategorinya.  Observasi cksperimen ialah observasi yang dilakukan terhadap situasi yang disiapkan sedemikian rupa untuk meneliti sesuatu yang dicobakan. 
2.2.1.3 Alat Observasi  Menurut Silaen (2013:156-158), Untuk pencatatan hasil pengamatan dapat dipergunakan beberapa alat, di antaranya catatan anekdot (anecdotal record), catatan berkala, daftar cek, skala penelitian, dan peralatan mekanik (mechanical device). a. Catatan Anekdot (Anecdotal Record) Dalam proses pengamatan, setiap penelitian harus mampu mengindentifikasi gejala-gejala yang muncul dalam variable penelitiannya. Munculnya gejala-gejala tersebut harus segera dicatat meskipun dengan cara yang paling sederhana. Catatan yang sederhana ini disebut catatan anekdot karena bentuknya hanya sekadar lembaran kertas atau sebuah buku catatan. Pengamatan membuat catatan secara terurai mengenai setiap gejala yang tampak yang berhubungan dengan variable dan masalah penelitiannya. b. Catatan Berkala Instrumen catatan berkala tidak ada bedanya dengan catatan anekdot, yaitu berupa lembaran kertas putih atau buku catatan. Perbedaanya adalah pada pengamatan catatan berkala, gejala yang muncul yang berhubungan dengan masalah penelitian, dicatat dengan menetapkan tenggan waktu. Misalnya, pencatatan data dilakukan semingu sekali selama 10 jam dalam sehari yang berlangsung selama 3 bulan atau satu semester. c. Daftar Cek (Check List) Untuk penggunaan daftar cek, variable penelitian harus dipilih menjadi dimensi dan dimensi dipilih menjadi indicator. Indicator variable ini dijabarkan secara rinci berupa beberapa fenomena atau gejala yang akan muncul sebagai data yang perlu dikumpulkan. Rincian gejala yang akan muncul itu, disusun secara 
40 

teratur menjadi suatu daftar. Tugas pengamat adalah memberikan tanda berupa tally, atau contreng (), atau tanda silang (X), atau tanda lainnya yang dapat dilakukan dengan cepat walaupun fenomena tersebut munculnya sangat cepat secara silih berganti. Contoh: Penelitian mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam siding skripsi/tesis, dilakukan pengamatan melalui daftar cek. Untuk itu, disusun daftar fenomena yang akan diamati sebagai berikut:   Nama Mahasiswa :                             Nama Pengamat :  Tanggal Pengamatan : No. Klasifikasi Fenomena Cek F 1. Bahasa Lisan dalam Presentasi 1) Kekeliruan memakai kata “daripada” 2) Kekeliruan mengucapkan akhiran i 3) Kekeliruan mengucapkan EYD 4) Kekeliruan mengucapkan Bahasa asing 5) Dan seterurnya 
     
 1 7 5 2 - 2. Bahasa Tulisan Skripsi/Tesis 1) Kekeliruan memakai kata “daripada” 2) Kekeliruan memakai kata awalan “di” 3) Kekeliruan memakai kata depan “di” 4) Kekeliruan memakai EYD 5) Kekeliruan pengetikan kata” 6) Dan seterusnya 
      
 3 9 12 14 10 - 

Dalam melakukan pengamatan, tanda cek dibubuhkan untuk setiap tenggang bahasa lisan dilakukan ketika acara persentasi skripsi/tesis dan ketika proses tanya-jawab, sedangkan pengecekan Bahasa tulisan dilakukan bab demi bab, sehingga dapat menggambarkan frekuensi kekeliruan mahasiswa selama acara sidang skripsi/tesis. d. Skala Penilaian (Rating Scale) 
41 

Penggunaan skala penilaian (rating scale) dalam observasi, variable penelitian yang dipilih secara rinci, disusun berderet ke bawah, sedangkan kategori skalanya disusun ke samping. Tugas pengamat memberikan tanda cek dalam kolom kategori sesuai dengan penilaian pengamatan atau sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Umumnya, pengamat sebagai penilai terdiri dari beberapa orang, dan penilaian ini hendaknya oerang-orang yang mengetahui bidang yang dinilai. Kategori yang dimaksud adalah skala ordinal, antara lain: (1) Berskala dua, seperti: Puas dan Tidak puas, Tinggi dan Rendah, Setuju dan Tidak setuju, dan lainlain; (2) Berskala tiga, seperti:Puas, Cukup puas, dan Tidak puas; Tinggi, Sedang, dan Rendah: Setuju, Netral, dan Tidak setuju; dan lain-lain; (3) Berskala empat, lima, dan dapat dikembangkan sampai Sembilan bahkan sebelas. Semakin rinci skala kategori itu, semakin sulit mengindentifikasi datanya dalam kenyataan yang diamati, karen itu kategori yang tinggi dan rendah sering tidak ada penilaian. e. Peralatan Mekanik (Mecahnical Device) Dalam peristiwa yang terjadi hanya satu kali bahkan berlangsung sangat cepat, maka pengamatan langsung sulit dilakukan. Untuk itu, dibutuhkan alat pembantu berupa peralatan elektronik yang digunakan untuk pengumpulan data. Alat bantu itu digunakan untuk merekam suatu peristiwa yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dengan menggunakan alat elektronik sebagai alat pengumpulan data, jika terjadi keragui-raguan atau kelupaan maka rekamannya dapat diputar kembali, sehingga pencatatan data yang keliru dapat diperbaiki. Alat perekam itu, antara lain berupa tustel, tape recorder, camera film, video cassete, slide film, hand phone (HP), dan sebagainya. 
2.2.1.4 Kesesatan dalam Observasi Menurut Usman (2008:54), Kesesatan-kesesatan yang sering terjadi selama melaksanakan observasi dapat berbentuk: a. hallo effects, yaitu jika observer dalam melakukan observasi telah terpengaruh atas hal-hal yang baik dari observasi;  b. gen- erosity effects, yaitu jika observer dalam keadaan tertentu cenderung untuk memberikan penilaian yang menguntungkan;  
42 

c. carryover effects, yaitu jika observer tidak mampu memisahkan gejala yang satu dengan gejala lainnya. esesatan yang sering terjadi selama melaksanakan observasi 
2.2.1.5 Kecermatan Observasi 
Menurut Usman (2008:54-55), Tingkat kecermatan observasi sangatlah dipengaruhi oleh faktor prasangka dan keinginan observee, terbatasnya kemampuan pancaindra dan ingatan; terbatasnya wilayah pandang, yaitu kecenderungan observer menaruh perhatian dengan membandingkatunya kepada kejadian lainnya: kemampuan observer dalam menangkap hubungan sebab akibat; kemampuan menggunakan alat bantu; ketelitian pencatatan; pengertian observer terhadap gejala yang diukur. 
2.2.1.6 Keuntungan Observasi 
Keuntungan digunakannya teknik pengumpulan data dengan observasi, yaitu sebagai alat langsung yang dapat meneliti gejala; observee yang selalu sibuk lebih senang diteliti melalui observasi daripada diberi angket atau mengadakan wawancara; memungkinkan pencatatan serempak terhadap berbagai gejala, karena dibantu oleh observer lainnya atau dibantu oleh alat lainnya, tidak tergantung pada self-report  (Usman, 2008:55). 
2.2.1.7 Kelemahan Observasi Kelemahan penggunaan teknik pengumpulan data dengan observasi adalah banyak kejadian langsung yang tidak dapat diobservasi, misalnya rahasia pribadi observee; observee yang menyadari dirinya scbagai objek penelitian cenderung untuk memberikan kesan-kesan yang menyenangkan observer, kejadian tidak selamanya dapat diramalkan, sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama; tugas observer akan terganggu jika terjadi peristiwa tidak terduga, seperti hujan, kebakaran, dan lain- lain: terbatas kepada lamanya kejadian berlangsung (Usman, 2008:55). 
2.2.2 Wawancara 
Menurut Nazir (1993:170-171), Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, 
43 

sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).  
Menurut Silaen (2013:153), Wawancara/interviu adalah alat pengumpulan data yang digunakan dalam komunikasi langsung yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan yang diajukan oleh pengumpul data (interviewer) sebagai pencari informasi yang dijawab secara lisan oleh informan (interviewe) sebagai pemberi informasi. 
Menurut Usman (2008:55), Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewee. 
Menurut Bhattacherjee (2012:78-79), Interviews are a more personalized form of data collection method than questionnaires, and are conducted by trained interviewers using the same research protocol as questionnaire surveys (i.e., a standardized set of questions). However, unlike a questionnaire, the interview script may contain special instructions for the interviewer that is not seen by respondents, and may include space for the interviewer to record personal observations and comments. In addition, unlike mail surveys, the interviewer has the opportunity to clarify any issues raised by the respondent or ask probing or follow-up questions. However, interviews are time- consuming and resource-intensive. Special interviewing skills are needed on part of the interviewer. The interviewer is also considered to be part of the measurement instrument, and must proactively strive not to artificially bias the observed responses. The most typical form of interview is personal or face-to-face interview, where the interviewer works directly with the respondent to ask questions and record their responses. Personal interviews may be conducted at the respondent’s home or office location. This approach may even be favored by some respondents, while others may feel uncomfortable in allowing a stranger in their homes. However, skilled interviewers can persuade respondents to cooperate, dramatically improving. 
44 

Jadi dapat disimpulkan bahwa wawancara adalah alat pengumpulan data berupa tanya jawab antara pihak pencari informasi dengan sumber informasi berlangsung secara lisan. Informasi itu dapat tuk tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, hasil pemikiran, dan pengetahuan seseorang mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan masalah penelitian. 
Menurut Nazir (1993:170-171), Beberapa hal dapat membedakan wawancara dengan percakapan sehari-hari, antara lain: 
a. pewawancara dan responden biasanya belum saling mengenal sebelumnya;  
b. responden selalu menjawab pertanyaan; 
c. pewawancara selalu bertanya;  
d. pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban, tetapi harus selalu bersifat netral; dan  
e. pertanyaan yang ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan panduan ini dinamakan interview guide.  
2.2.2.1 Kegunaan Wawancara Wawancara berguna untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer); perlengkapan Teknik pengumpulan lainnya; menguji hasil pengumpulan data lainnya (Usman,2008:55). 
Menurut Silaen (2013:153-154), Wawancara sebagai alat pengumpulan data dapat dipergunakan dalam tiga fungsi, yaitu: (1) Sebagai alat pengumpulan data utama; pengumpulan data pelengkap; dan (3) Sebagai alat (2) Sebagai alat pengumpulan data pembanding kebenaran data utama. 
a. Wawancara sebagai Alat Pengumpulan Data Utama 
Banyak informasi yang berfungsi sebagat data utauntuk memecahkan masalah penelitian, yang hanya dapat diperoleh melalui wawancara, karena dengan alat pengumpulan data lainnya ternyata sulit menghasilkan informasi tersebut. Misalnya penelitian tentang pendapat pegawai negri mengenai kebijakan baru. 
45 

Untuk itu, data utamanya dapat dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan lisan mengenai keuntungan dan kerugian bagi pegawai negri bila kebijaksanaan itu diberlakukan dalam wilayah kerjanya. 
b. Wawancara sebagai Alat Pengumpulan Data Pelengkap Hasil wawancara berfungsi sebagai data pelengkap, apabila informasi yang dikumpulkan tidak dapat dikumpulkan dengan alat pengumpulan data utama. Dalam hal ini, data utama telah dikumpulkan melalui alat pengumpulan data lainnya, tetapi masih dibutuhkan data penunjang yang diperoleh dari wawancara menegnai tanggapan atau pendapat informasi agar dapat mempermudah dalam menarik kesimpulan atau memperjelas kesimpulan yang dirumuskan. c. Wawancara sebagai Alat Pengumpulan Data Pembanding Hasil wawancara dapat digunakan untuk mengecek kebenaran data utama yang telah dikumpulkan dengan alat lain. Dengan demikian, diharapkan akan dapat menarik kesimpulan dengan tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi. 
Interviewees can bias the data when they do not come out with their  true opinions but provide information that  they  think  is  what  the  interviewer expects of them or would like to hear. Also, if they do not understand the  questions, they may feel diffident or hesitant to seek clarification. They  may  then  answer  ques- tions without knowing their import, and thus introduce biases. Some interviewees may  be  turned  off  because  of  personal  likes  and  dislikes, or the dress of the interviewer, or the  manner  in  which  the  questions are  put.  They may, therefore, not provide truthful answers, but instead, deliberately offer incorrect responses. Some respondents may also answer questions in a socially acceptable manner rather than indicate their true sentiments (Uma, 200:299). 

2.2.2.2 Petunjuk Untuk Mengadakan Wawancara 
Menurut Usman (2008:56), Beberapa petunjuk yang harus diperhatikan dalam mengadakan wawancara adalah sebagai berikut: 
46 

1) Interviewer harus mengenalkan dirinya kepada interviewee, baik langsung maupun tidak langsung serta menyampaikan maksud penelitian untuk kemajuan ilmu dan kepentingan bersama, serta sekaligus meminta kesediaan kapan waktu wawancara boleh dimulai.  2) Interviewer harus menciptakan hubungan baik dengan interviewee dengan cara saling menghormati, kerja sama, mempercayai, memberi, dan menerima.  3) Ciptakan suasana santai dan tidak tergesa-gesa dalam mengajukan pertanyaan.  4) Interviewer hendaklah menjadi pendengar yang baik dan tidalk memotong ataupun menggiring interviewee kepada jawaban yang diharapkan.  5) Interviewer harus terampil dalam bertanya. Agar terampil, maka harus mempertimbangkan hal-hal berikut. Adakanlah pembicaraan pembukaan; gaya bicara jangan berbelit-belit; aturlah nada suara agar tidak membosankan; sikap bertanya jangan seperti menghakimi atau menggurui; mengadakan parafrasa; mengadakan prodding. yaitu penggalian yang lebih dalam, mencatat, dan menilai jawaban aturlah waktu bertanya; jangan lupa buatlah pedoman sebagai bimbingan untuk mengajukan pertanyaan.  

2.2.2.3 Jenis-Jenis Wawancara Menurut Usman (2008:56-57), Jenis wawancara ada dua, yaitu tidak terpimpin dan terpimpin.  1. Wawancara tidak terpimpin ialah wawancara yang tidak terarah. Kelemahannya ialah tidak efisien waktu, biaya, dan tenaga Keuntungannya ialah cocok untuk penelitian pendahuluan,tidak memer lukan keterampilan bertanya, dan dapat memelihara kewajaran suasana. 2. Wawancara terpimpin ialah tanya jawab yang terarah untuk mengumpulkan datadata yang relevan saja. Kelemahan teknik ini adalan kesan-kesan, seperti angket yang diucapkan serta suasana menjad kaku dan formal. Sedangkan keuntungan teknik ini adalah pertanyaan sistematis hingga mudah diolah kembali, pemecahan masalah lebih mudah, memungkinkan analisis kuantitatif dan kualitatif, dan kesimpulan yang diperoleh lebih reliabel.  
Menurut Silaen (2013:154-155), Dalam pelaksanaan wawancara, agar tidak ada poko-pokok permasalahan yang tertinggal dan agar pencatatan lebih terarah 
47 

cepat, maka dibutuhkan suatu pedoman penyusunan wawancara. Secara garis besar ada tiga macam wawancara, yaitu: (1) pedoman wawancara tidak berstruktur; (2) Pedoman wawancara berstruktur; dan (3) Pedoman wawancara semi berstruktur.  
1) Pedoman wawancara Tidak Berstruktur  
Pedoman wawancara tidak bersruktur adalah pedoman wawancan yang hanya memuat secara garis-garis besar mengenai hal-hal yang ditanyakan. Dalam pelaksanaarnya, bentuk wawancara ini disebu interviu bebas (unguided interview). Dalam hal ini, pertanyaan-petanyaan disusun seketika pada saat pewawancara berhadapan dengan informan. Tentu saja kreativitas pewawancara sangat dibutuhkan, karena hasil wawancara lebih banyak tergantung pewawancara. Kebebasan juga diberikan kepada informan untuk menjawab pertanyaan. Wawancara ini lebih bersifat percakapan bebas (free talk) dengan suasana santai, karena responden (informan) tidak menyadari bahwa ia sedang diinterviu. 
2) Pedoman Wawancara Berstruktur  
Pedoman wawancara berstrukur (structured interview) adalah pedoman wawancara yang disusun secara terperinci. Pedoman ini disusun secara tertulis sebagai pegagan pewawancara. Dalam pelaksanaannya, bentuk wawancara ini disebut interviu terpimpin (guide interview). Pertanyaan harus sesuai dan tidak boleh berbeda dengan pertanyaan telah disiapkan alternative jawabannya, maka tugas wawancara hanya mencocokan jawaban responden dengan salah satu alternative jawaban yang telah tersedia. Tugas mencatat hanya dilakukan pewawancara apabila jawaban responden (informan) ternyata tidak sesuai dengan semua alternative jawaban yang lebih tersedia. 
3) Pedoman Wawancara Semi Berstruktur Pedoman wawancara semi berstruktur adalah pedoman wawancara yang disusun secar runtun berbentuk butir-butir pertanyaan tetapi pewawancara tidak berkali seperangkat pertanyaan untuk diajukan kepada informan.  

2.2.2.4 Kesesatan dalam Wawancara 
48 

Menurut Usman (2008:57), Kesesatan wawancara bisa terjadi karena adanya: a. error of recognition, yaitu jika interviewer gagal memproduksi ingatannya kembali; b. error of omission, yaitu jika interviewer melewatkan sesuatu yang seharusnya dilaporkan;  c. error of addition, yaitu jika interviewer melebih-lebihkan jawaban interviewee;  d. error of transposition, yaitu jika interviewer tidak mampu mereproduksi urutan jawaban dari interviewee. 

2.2.2.5 Kelamahan Wawancara Menurut Usman (2008:57), Kelemahan wawancara adalah harus pandai bicara dengan jelas dar benar, orang bisu tidak dapat diwawancarai; waktu, biaya, dan tenaga tidak efisien; sangat tergantung kepada kesediaan interviewee; proses wawancara sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan; untuk objek yang luas diperlukan interviewer yang banyak. 

2.2.2.6 Keuntungan Wawancara Menurut Usman (2008:57), Teknik pengumpulan data melalui wawancara mempunyai keuntungan sebagai berikut salah satu teknik terbaik untuk mendapatkan data pribadi; tidak terbatas pada tingkat pendidikan, asalkan responden dapat berbicara dengan baik saja; dapat dijadikan pelengkap teknik pengumpulan data lainnya; sebagai penguji terhadap data-data yang didapat dengan teknik pengumpulan data lainnya. 

2.2.3 Kuisioner/Angket/Daftar Pertanyaan  Menurut Silaen (2013:46), Dalam penelitian ilmu-ilmu social untuk menyusun skripsi/tesis, seringkali pengumpulan data dengan menggunakan instrument atau alat penelitian berbentuk kuisioner/angket/daftar pertanyaan (quentionary). Umumnya data dalam ilmu-ilmu social bersifat kualitatif dan kebanyakan merupakan konsep mengenai berbagai fenomena social yang abstrak dan tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera. Untuk itu diprlukan teknk 
49 

untuk membuat skala dengan cara mengubah data kualitatif menjadi suatu urutan kuantitatif, yakni dalam bentuk angka-angka, sehingga dapat diolah dengan statistic. 2.2.3.1 Pedoman Penyusunan Kuisioner Menurut Silaen (2013:46), Pokok-pokok bahasan yang perlu diperhatikan untuk penyusunan kuisioner sebagai berikut: 1. Penyusunan Kuisioner Berdasarkan Kisi-Kisi Variabel Kuisioner disusun berdasarkan kisi-kisi variable. Kisi-kisi variable adalah hasil pemilahan variable-variael dalam penelitian. Langkah awal adalah memilih variable menjadi beberapa dimensi. Variable-variabel penelitian soasial umumnya memiliki lebih dari satu dimensi. Dalam hal ini, pemilihan variable menjadi beberapa dimensi wajib diacu dari teori atau pendapat para ahli. Oleh karena itu, wajib diseutkan sumber acuannya. Setelah dimensi-dimensi suatu variable ditentukan,  kemuian dijabarkan atau dipilah-pilah masing-masing dimensi menjadi beberapa indicator yang dapat diukur. Akhirnya, indicator-indikator yang terukur tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun pertanyaan penelitian. Dalam hal ini, pemilihan indicator boleh diacu dari teori atau pendapat para ahli, tetapi biasanya pemilihan indicatorindikator dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sendiri, karena kersp dalam penelitian social bahwa indicator-indikator dalam suatu variable belum ada teorinya. 2. Penggunaan Bahasa Penyusuanan kuisioner untuk skripsi/tesis pada umumnya dalam bahasa Indonesia. Hal ini perlu dijintau, karena kebanyak responden, terutama di pedesaan terpencil, umumnya kebanyakan responden tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Untuk itu penggunaan bahasa dalam penyusunan kuisioner harus disesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh responden. Jika responden hanya mampu bahasa daerah setempat, maka kuisioner dibuat terjemahannya dalam bahasa daerah tersebut, atau dibutuhkan seorang penerjemah langsung agar responden mengerti. Jika responden tidak dapat membaca mungkin buta huruf atau factor usia, maka pencacah sebaiknya membacakan pertanyaan dan mencotreng atau menuliskan jawaban responden. Jadi, bahasa yang digunakan dalam 
50 

penyusunan kuisioner harus memperhatikan jenjang pendidikan, keadaan social budaya, dan juga factor usia responden. 3. Pertanyaan Tidak Berganda Setiap pertanyaan dalam kuisoiner jangan sekaligus menanyakan lebih dari satu hal, agar jangan menyulitkan responden untuk memberikan jawaban. Misalnya: Bagaimana pendapat Anda mengenai keramahan pelayan dan kualitas pelayanan penerimaan mahasiswa baru? Peratanyaan ini adalah berganda, karena menanyakan dua hal sekaligus sehingga menyulitkan responden untuk menjawabnya. Sebaiknya pertanyaan tersebut dijadikan dua pertanyaan, yaitu pertanyaan mengenai keramahan pelayan dan mengenai kualias pelayanan.  4. Pertanyaan Jangan Mengandung Sugesti Pertanyan dalam kuesioner jangan mengandung sugesti yang menggiring responden agar menjawab sesuai dengan keinginan peneliti. Misalnya: (1) Atas jasa pelayanan Anda selama ini, apakah bonus perlu ditingkatkan? Jawabannya tentu cenderung setuju Bagaimana kinerja Anda dalam tahun ini? Jawabannya akan cenderung baik  5. Jangan Menanyakan Hal yang Terlalu Rumit  Sebaiknya, dalam setiap pertanyaan dalam kuesioner jangan menanyakan suatu hal yang kemungkinannya responden telah lupa atau pertanyaan yang membuat responden berpikir berat.Misalnya: (1) Menurut Anda, bagaimana kinerja pimpinan perguruan tinggi ini 25 tahun yang lalu?Mungkin pertanyaan ini tidak dijawab responden karena sudah lupa, atau memerlukan pemikiran yang lama;(2) Menurut Anda, bagaimana mengatasi krisis moral remaja saat ini?Jawaban pertanyaan ini memerlukan pikiran yang berat, kecuali penelitian ini mengharapkan pendapat para ahli. 6. Pembatasan Jumlah Pertanyaan  Jumlah pertanyaan (item) dalam kuesioner jangan terlampau banyak agar responden jangan sampai bosan memberikan jawaban, dan juga jangan terlalu sedikit agar hasil analisis data memadai. Pertanyaan disusun, sebaiknya langsung berkaitan dengan hipotesis dan tujuan penelitian berdasarkan kisis-kisi variabel.Karena jumlah pertanyaan yang terlampu banyak, cenderung banyak di 
51 

antaranya tidak terpakai dalam analisis, meskipun telah banyak tenaga, waktu, dan dana yang digunakan untuk itu. Jika jumlah pertanyaan harus banyak, terutama bagi analisis data kualitatif, maka perlu dibuat jenis/tipe pertanyaan yang bervariasi.Dari hasil empiris, terutama yang menggunakan anälisis kuantitatif, bagi penyusunan skripsi disarankan jumlah pertanyaan yang memadai untuk setiap variabel penelitian adalah antara 10 sd 15 pertanyaan, sedangkan bagi penyusunan tesis disarankan jumlah pertanyaan yang memadai untuk setiap variabel penelitian adalah antara 15 s.d.25 pertanyaan. 7. Penampilan Fisik Kuesioner  Kuesioner sebaiknya dicetak rapi dan jelas di atas kertas yang bagus, bila perlu kertas berwarna. Penampilan fisik kuesioner akan memengaruhi keseriusan responden untuk mengisi kuesioner Kuesioner yang dicetak di atas kertas buram, apalagi dengan margin penulisan yang acak-acakan, akan mendapat respons yang tidak menyenangkan dari responden, yang mungkin akan memberikan jawaban asal-asalan.  8. Pengelompokan Pertanyaan Cara pengelompokan pertanyaan terserah kepada peneliti, yang perlu diperhatikan adalah urutan yang cukup runtut, biasanya berdasarkan urutan dimensi-dimensi variabel yang telah dirumuskan dalam bab IIl skripsi/tesis. Pengelompokan pertanyaan dimulai dengan identitas dan demografi responden, kemudian disusul dengan pertanyaan sesuai dengan indikator masing- masing dimensi. Untuk pertanyaan yang sensitif disarankan jangan ditempatkan di bagian awal karena dapat segera memengaruhi suasana proses pencacahan atau suasana wawancara tatap muka. Biasanya pertanyaan sensitif ditempatkan di bagian belakang, tetapi bukan pada bagian penutup agar proses tanya-jawab tidak diakhiri dengan perasaan yang kurang menyenangkan. Mengenai identitas responden, perlu tidaknya diberi nama atau anonim, perlu diperhatikan mengenai: (1) tingkat kematangan responden; (2) tingkat subjektivitas item yang menybabkan responden enggan memberikan jawaban. Untuk itu, perlu diinformasikan dalam kata pengantar kuesiner bahva untuk menghindari hal-hal 
52 

yang tidak diinginkan, identitas responden dirahasiakan; dan (3) jumlah sampel yang terlalu banyak sebaiknya menggunakan kuesioner anonim. Kuesioner anonim memang ada baiknya karena responden leluasa memberikan jawaban, tetapi mempunyai kelemahan, antara lain: (1) Sukar ditelusuri jika ada kekurangan jawaban atau tanpa ada jawaban, karena responden kurang memahami maksud item, (2) Peneliti tidak mungkin melakukan analisis data lebih lanjut apabila ingin memilah kelompok berdasarkan karakteristik yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian, padahal responden tidak memberikan jawaban. 9. Petunjuk Penyusunan Kata Pengantar Setelah keseluruhan item (pertanyaan) disusun maka perlu membuat kata pengantar penyampian kuesioner yang ditempatkan pada bagian teratas lembar pertama. Isi kata pengantar ini, antara lain: (1) Maksud dan tujuan mengadakan penelitian. Maksud penelitian adalah dalam rangka apa penelitian dilakukan, sedangkan tujuan penelitian adalah upaya memecahkan masalah penelitian, (2) Petunjuk untuk mengisi/ menjawab kuesioner Dengan maksud untuk menjelaskan tentang cara menjawab pertanyaan. Penyusunan petunjuk ini diusahakan dengan singkat. lengkap, dan mudah dipahami. Petunjuk yang panjang dan bertele. tele dapat membingungkan dan kesalahan tafsiran, (3) Ucapan .terima kasih kepada responden; (4) Tempat dan tanggal pengisian kuesioner, (5) Kata pengantar diakhiri dengan pencantuman nama jelas dan tanda tangan pencacah atau peneliti. 10. Uji Coba (Try Out) Kuesioner yang sudah selesai tersusun, dianjurkan agar dikonsultasikan dengan seorang (atau lebih) pakar di bidang ilmunya, atau didiskusikan terlebih dahulu dengan rekan-rekan sejawat yang menekuni disiplin ilmu yang sama. Setelah dinilai dapat dipergunakan, kuesioner tersebut sebaiknya diujicobakan pada beberapa responden yang berasal dari populasi, tetapi tidak termasuk sebagai sampel penelitian. Uji coba (try oul) dilakukan untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas kuesioner sebagai alat pengumpul data. Dari kegiatan uji coba ini akan dapat diketahui kelemahan-kelemahan pertanya an untuk diperbaiki dan disempurnakan. Oleh karena itu, responden dari uji coba itu diberi kesempatan untuk memberikan 
53 

saran- saran/masukan untuk perbaikan kuesioner tersebut sebelum disebarluaskan kepada sejumlah responden sebagai sampel penelitian. 

2.2.3.2 Jenis-Jenis Pertanyaan  Menurut Silaen (2013:46), Setiap item (pertanyaan) dalam kuesioner yang dijawab oleh responden, maka jawaban tersebut merupakan data yang akan dianalisis. Jenis/bentuk/tipe pertanyaan dalam kuesioner dapat dibagi atas lima jenis, yaitu: (1) Pertanyaan tertutup, (2) Pertanyaan semi tetrtutup: (3) Pertanyaan kombinasi, (4) Pertanyaan terbuka; dan (5) Pertanyaan terbuka tetapi hakikatnya tertutup. 1. Pertanyaan Tertutup  Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang alternatif jawabannya sudah ditentukan oleh peneliti, sehingga responden tidak diberi kesempatan untuk memberikan jawaban lain. Hal yang pokok diperhatikan adalah alternatif jawaban tersebut bukan berbentuk tes (bukan memilih alternatif yang benar atau salah), melainkan jawaban responden sesuai dengan keinginan, harapan, atau pengalamannya sendiri Dengan perkataan lain, alternatif jawban yang mana pun dipilih oleh responden dinyatakan benar atau tidalk ada yang salah Pertanyaan tertutup dapat dibagi dalam beberapa bentuk, anata lain: a) Pertanyaan dengan Jawaban Tunggal. Pada pertanyaan ini, responden hanya memilih salah satu alternatif jawaban yang tersedia. Contoh pertanyaan: Dari merek rokok di bawah ini, merek apa yang paling sering Anda isap? 1. Dji Sam Soe  2. Sampurna  3. Gudang Garam  4. Mustang  5. Marlboro b) Pertanyaan dengan Jawaban Kombinasi. Pada pertanyaan ini, responden boleh memilih lebih dari salah satu alternatif jawaban yang tersedia. Contoh pertanyaan:  Dari merek rokok di bawah ini, merek apa yang pernah Anda isap? 1. Dji Sam Soe  
54 

2. Sampurna  3. Gudang Garam  4. Mustang  5. Marlboro  c) Pertanyaan dengan Jawaban Berskala. Jika alternatif jawaban berbentuk skala, yaitu skala nominal, ordinal, interval, atau rasio, maka jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan tertutup dengan jawaban tunggal. Contoh: Pertanyaan dengan skala ordinal Menurut Anda, bagaiman rasanya masakan Padang?  1. Sangat enak  2. Enak  3. Cukup enak  4. Tidak enak  5. Sangat tidak enak 2. Pertanyaan Semi Tertutup Pertanyaan semi tertutup adalah pertanyaan tertutup yang alternatif jawabannya telah ditentukan, namun peneliti berasumsi bahwa dari jawaban yang tersedia mungkin tidak ada yang sesuai, sehingga digabung dengan pertanyaan terbuka agar respondern diberi kesempatan untuk memberikan jawaban lain yang lebih tepat. Contoh pertanyaan: Merek rokok apa yang paling sering Anda isap?  1. Dji Sam Soe  2. Sampurna 3. Gudang Garam 4. Mustang 5………………(sebutkan) 3. Pertanyaan Kombinasi Pertanyaan kombinasi adalah gabungan pertanyaan tertutup dan terbuka, yang hakikatnya adalah dua tipe pertanyaan yang diubah menjadi satu nomor pertanyaan. Apakah anda pernah mengunjungi Pulai Dewata? 1. Pernah 2. Tidak pernah (langsung ke pertenyaan ke nomor xx) Jika pernah, menurut Anda bagaimana keindahan panorama di sana? 
4. Pertanyaan Terbuka 
55 

Pertanyaan yang tidak mempunyai alternative jawaban, melainkan responden diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban seaui dengan pendapatnya. Jawaban dituliskan pada kolom titik-titik yang disediakan. Contoh pertanyan: Menurut Anda bagaimana caranya untuk menghilangkan tindakan korupsi di Indonesia? 5. Pertanyaan Terbuka Tetapi Hakikatnya Tertutup Pertanyaan Terbuka Tetapi Hakikatnya Tertutup adalah pertanyaan terbuka tetapi alternative jawabannya telah dapat diprediksi oleh peneliti. Diupayakan agar pertanyaan yang disusun mempunyai alternative jawaban sebanyak 3 s.d. 7 alternatif. Atau suatu hal yang akan ditanyakan mengandung himpunan yang terdiri dari 3 s.d. 7 anggota. Misalnya, pancaindra, yaitu himpunan dari 5 macam indra, tri dharma pendidikan, yaitu himpunan dari 3 macam darma; pancasila; hari; dll.dengan demikian, pilihan jawaban adalah salah satu anggota dari suatu himpunan yang ditanyakan. Contoh pertanyaan: Pancasiala terdiri dari beberapa lambing, menurut Anda lambing silang keberepa yang sangat indah. 
 Invented by Sir Francis Galton in Anol Bhattacherjee (2012: 17), a questionnaire is a research instrument consisting of a set of questions (items) intended to capture responses from respondents in a standardized manner.  Questions may be unstructured or structured.  Unstructured questions ask respondents to provide a response in their own words, while structured questions ask respondents to select an answer from a given set of choices.  Subjects’ responses to individual questions (items) on a structured questionnaire may be aggregated into a composite scale or index for statistical analysis.  Questions should be designed such that respondents are able to read, understand, and respond to them in a meaningful way, and hence the survey method may not be appropriate or practical for certain demographic groups such as children or the illiterate 
Berdasarkan Sir Francis dalam Anol Bhattacherjee (2012:17) mengemukakan bahwa kuesioner adalah instrumen penelitian yang terdiri dari satu set pertanyaan (item) yang dimaksudkan untuk menangkap tanggapan dari 
56 

responden dengan cara yang terstandardisasi. Pertanyaan mungkin tidak terstruktur atau terstruktur. Pertanyaan tidak terstruktur meminta responden untuk memberikan jawaban dengan kata-kata mereka sendiri, sementara pertanyaan terstruktur meminta responden untuk memilih jawaban dari serangkaian pilihan yang diberikan. Respon subyek terhadap pertanyaan individu (item) pada kuesioner terstruktur dapat diagregasikan ke dalam skala gabungan atau indeks untuk analisis statistik. Pertanyaan harus dirancang sedemikian rupa sehingga responden dapat membaca, memahami, dan menanggapi mereka dengan cara yang berarti, dan karenanya metode survei mungkin tidak sesuai atau praktis untuk kelompok demografi tertentu seperti anak-anak atau yang buta huruf. 
Sedangkan menurut Morgan (2001:3) dalam bukunya menyatakan “Questionnaires are any group of written questions to which participants are asked to respond in writing,  often by checking or circling responses.  Interviews are a series of questions presented orally by an interviewer and are usually responded to orally by the participant.  Both questionanaires and interviews can be haighly structured, but is not common for interviews to be more open-ended,  allowing the participant to provide detailled answers”. 
Kuesioner adalah setiap kelompok pertanyaan tertulis yang diminta peserta untuk menanggapi secara tertulis, sering dengan memeriksa atau melingkari tanggapan. Wawancara adalah serangkaian pertanyaan yang disajikan secara lisan oleh pewawancara dan biasanya ditanggapi secara lisan oleh peserta. Baik tanya jawab maupun wawancara bisa sangat terstruktur, tetapi tidak umum untuk wawancara menjadi lebih terbuka, yang memungkinkan peserta untuk memberikan jawaban yang lengkap. 
2.2.4 Tes Tertulis Tes adalah suatu teknik pengukuran yang di dalamnya terdapat dise berbagai pertanyaan, pernyataan, atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh responden. Tes dapat dibedakan atas beberapa jenis, dan pembagian jenis-jenis ini dapat ditinjau dari anta berbagai sudut pandang.  Dalam bidang psikologi, tes dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu tes intelegensia umum, tes kemampuan khusus, tes prestasi belajar, dan tes 
57 

kepribadian. Berdasarkan jumlah peserta didik tes prestasi belajar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes kelompok dan tes perseorangan. Dilihat dari cara penyusunannya, tes dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes buatan guu (teacher made test) dan tes baku atau tes standar (standardized test). Tes standar adalah tes yang sudah memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi berdasarkan percobaan-percobaan terhadap sampel yang cukup besar dan representatif. Tes baku bertujuan untuk mengukur kemampuan responden dalam tiga aspek, yaitu kedudukan belajar, kemajuan belajar, dan diagnostik. sco kem jawa objel idal pa Dilihat dari aspek kemampuan, maka tes dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tes kemampuan (power test) dan tes kecepatan (speed test). Ditinjau dari bentuk jawaban responden, maka tes dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan, dan es perbuatan. Tes tertulis atau sering disebut paper and pencil test adalah tes yang menuntut jawaban responden dalam bentuk tertulis. Tes tertulis ada dua bentuk, yaitu bentuk uraian (essay dan bentuk objektif (objective). Tes bentuk uraian ini dapat dibagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu uraian terbatas (restricted respons items) dan uraian bebas (extended respons items). Pembagian jenis tes tersebut menunjukkan banyaknya ragam tes yang dapat digunakan dalam penelitian. Jenis atau bentuk tos mana yang akan digunakan sangat bergantung dengan masalah dan tujuan penelitian. Setiap jenis atau bentuk tes tentu mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing. Salah satu bentuk tes yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tes objektif atau sering disebut tes dikotomi (dichotomously scored item) karena jawabannya antara benar atau salah dan skornya antara 1 atau 0. Disebut tes objektif karena penilaiannya objektif. Siapa pun yang mengoreksi jawaban tes objektif hasilnya akan sama karena kunci jawabannya sudah jelas dan pasti. Tes objektif menuntut responden untuk memilih jawaban yang benar di antara kemungkinan jawaban yang telah disediakan, memberikan jawaban singkat, dan melengkapi pertanyaan atau pernyataan yang belum sempurma. Tes objektif sangat cocok untuk menilai kemampuan yang menuntut proses mental yang tidak begitu tinggi, seperti mengingat, mengenal, pengertian, dan penerapan prinsipprinsip. Tes objektif terdiri atas beberapa bentuk, yaitu benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan, dan melengkapi atau jawaban singkat.  
58 

Sebagaimana dikemukakan Witherington dalam Zainal Arifin (2009) bahwa, "there are many varieties of there new test, but four kinds are in most common use, true-false, multiple- tes tes ng pat es ta es choice, completion, matching" Kebaikan tes objektif antara lain (a) seluruh ruang lingkup (scope) materi dapat dinyatakan pada item atau soal, (b) kemungkinan jawaban spekulatif dalam ujian dapat dihindari, (c) jawaban bersifat mutlak, jadi penilaian dapat dilakukan secara objektif, (d) pengoreksian dapat dilakukan oleh siapa saja, sekalipun tidak mengetahui dan menguasai materinya, (e) pemberian skor dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, (f) korektor tidak akan terpengaruh oleh baikburuknya tulisan, dan (g) tidak mungkin terjadi dua orang responden yang jawabannya sama, tetapi mendapat skor yang berbeda. Sedangkan kelemahannya yakni (a) mengonstruksi soalnya sangat sulit, (b) membutuhkan waktu yang lama, (c) ada kemungkinan responden mencontoh jawaban orang lain dan berpikir pasif, dan (d) umumnya hanya mampu mengukur proses-proses h Ben men beb dap scca pan mental yang dangkal (Arifin, 2011:226-227). Sedangkan menurut Silaen (2013:159-163), tes dibedakan menjadi dua yaitu tes lisan dan tes tertulis. Kemudian tes tertulis dibagi lagi menjadi (1) tes essay (2) tes objektif. a. Tes Lisan (Oral Test) Tes lisan merupakan kamunikasi langsung, berisikan sejumlah pertanyaan yang diajukan secara lisan dan dijawab secara lisan pula oleh seseorang atau sejumlah orang mengenai aspek-aspek psikologis sebgai dat yang berhubungan dengan masalah penelitian. Kecuali dalam kepentingan dalam hal-hal terntu, umumnya untuk tes lisan sulit diukur tingkat reabilitas dan validitasnya sebagai alat pengukur, sehingga tes lisan sangat jarang digunakan dalam penellitian. b. Tes Tertulis (writing test) Tes tertulis merupakan komunikasi tidak langsung, berbentuk lembaran test yang berisikan sejumlah pertanyaan mengenai aspek-aspek psikologis sebagai data yang berhubungan dengan masalah penelitian. Tes tertulis diajukan secara tertulis dan dijawab secara tertulis pula. Tes tertulis dapat diklasifikasikan mejadi dua bentuk, yaitu tes esai dan tes objektif. 1. Tes esai (Essay Test) 
59 

Tes esai terdiridari sejumlah pertanyaan dalam bentuk uraian tertulis yang dijawab dalam bentuk tertulis dengan kalimat bebas yang disusun sendiri oleh pihak yang diberi oleh pihak yang dites (Testee). Jika test ini dikuantitaifkan akan sulit menentukan tingkat rehabilitas dan validitasnya. Dalam memberikan jawaban dalam bentuk agka, ternyata sulit menghilangkan pengaruh subjetivitasseorang penilai, sehingga data yang diperoleh cenderung kurang atau bahka tidak objektif. 2. Tes Objektif (Objective Test) Tes objektif merupakan alat pengukur yang banyak digunakan dalam penelitian social, karena dalam pmberian niali berupa angka, tidak dipengaruhi unsur subjektivitas penilai (tester). Tes objektif dapat dapat diklasifikasikan dalam lima bentuk, yaitu: a. Tes Benar Salah (True False Items) Lembaran tes ini berisikan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dengan mnyatakan bahwa isi pertanyaan itu adalah benaratau salah. Jawaban dilakukan dengan memberikan tanda silang atau meligkari pada huruf B jika pertanyaan itu benar dan S jika pertanyaan itu salah. b. Tes Pilihan Ganda (Multiple Choise Items) Lembaran test ini berisi sejumlah pertanyaan dan sejumlah alternative jawaban pernyataan telah disiapkan. Tugas orang yang diuji adalah memilih slah satu jawaban yang paling benar dengan cara melingkari angka atau huruf di depan alternative jawaban. c. Tes Menjodohkan (Maching Choise Items) Lebaran tes ini terdiri dari sejumlah item yang ditempatkan dalam dua kolom. Kolom kiri adalah kolom alternative jawaban dan kolom kanan adalah kolom pernyataan-pernyataan dengan mencantumkan angka atau huruf sebagai nomor urut setiap pernyataan. Diantara alternative jawaban dan pertanyaan disediakan titik-titik sebagai tempat jawaban (maching). d. Tes Melengkapi (Completion Items) Bentuk tes melengkapi adalah susunan kalimat pernyataan yang dhilangkan satu atau bebrapa angka penting (kata kunci) yang diganti dengan tiga buah titik. Bila kata yang dihilangkan di akhir kalimat maka 
60 

diganti dengan empat huah titik. Tugas testee adalah mengisi titik-titik dengan menuliska kata yang benar. e. Tes Jawaban Singkat (Short Answer Items) Bentuk tes ini hamper sama dengan bentuk pernyataan terbuka. Perbedaanya adalah jawaban dari tes ini hanya terdiri dari kalimat singkat, bahkan boleh satu, dua, atau tiga kata saja. Jika diminta beberapa butir alasan, hendaknya dicantumkan dengan jelas beberapa butir alasan yang dikehendaki. Untuk jawaban yang akan diisi testee disediakan kolom yang terbatas berupa titik-titik. Tempat titik-titik tersebut berada di samping kanan atau di bawah pertanyaan. 2.3. Kajian Kritis Skala pengukuran terdiri dari skala  likert,  skala  Guttman,  Rating  Scale, skala Semantic, skala Sosiometrik, skala Sofsil, skala Bogardus dan skala Penilaian. Berdasarkan pembahasan yang telah kami bahas, maka dapat dipahami bahwa skal Likert merupakan skala yang digunakan untuk mengukur sikap individu dalam dimensi yang sama. Dalam hal ini responden akan memberikan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap beberapa pertanyaan atau pernyataan yang diberikan . Sedangkan skala Guttman merupakan skala yang lebih kompleks daripada skala Likert dan digunakan hanya mengukur satu dimensi saja dari satu variable dan merupakan skala yang kumulatif dan ordinal. Skala Guttman ini juga sering disebut sebagai analisis skala untuk meyakinkan peneliti tentang sikap yang diteliti. Skala bogardus digunakan untuk mengukur jarak social, yaitu mengukur derajat pengertian atau keintiman dan kekariban sebagai ciri hubungan social secara umum. Misalnya, penerimaan beberapa suku terhadap suku X. Pertanyaan disusun sama seperti skala Guttman, gradasi penerimaan tertinggi sampai terendah. Skor tertinggi diberikan pada pertanyaan (item) yang intensitasnya tertinggi, atau sebaliknya. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis persentase pada masing-masing item yang jawabannya “menerima” atau “menyetujui”.  Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau untuk mengukur suatu konsep atau objek oleh responden. Skala Semantik ini sama seperti skala Likert. Perbedaannya, skala Semantik disusun dalam skala bipolar yang menyangkut dimensi tiga sifat, yaitu dimensi evaluasi, potensi dan kegiatan. 
61 

Skala sofsil pada prinsipnya sama seperti Skala sosiometrik, perbedaannya skala Sofsil digunakan untuk memberikan penilaian terhadapa beberapa subjek di luar kelompok yang dinilai oleh audiens/ anggota kelompok yang jumlhnya relative banyak, biasanya minimal 50 orang dengan tujuan untuk menentukan peringkat klasifikasi subjek tersebut. Sedangkan skala Sosiometrik digunakan untuk penilaian antarindividu dalam suatu kelompok kecil. 
Skala peringkat (rating scale) banyak digunakan dalam penelitian ilmu social khususnya mengenai media massa. Dalam menggunakan skala peringkat ini, peneliti harus memutuskan tipe skala apa yang akan digunakan. Misalnya menggunakan skala 1 hingga 3; 1 hingga 5; 1 hingga 10; 1 hingga 100; dan seterusnya. Tidak ada suatu ketentuan mengenai tipe skala apa yang harus kita gunakan. 
Skala penilaian , variable penelitian yang dipilih secara rinci, disusun berderet ke bawah, sedangkan kategori skalanya disusun ke samping. Tugas penilai melingkari skor berupa angka dalam kategori yang telah disediakan. Kemudian, skor yang dipilih oleh penilai tersebut ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Umumnya, penilai terdiri dari beberapa orang, dan penilai ini hendaknya orangorang yang mengetahui bidang yang dinilai. 
Teknik Pengumpulan data terdiri dari Observasi, Wawancara, Angket/Kuisioner, dan Tes. Observasi adalah  teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Dalam observasi diperlukan ingatan terhadap observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Namun, manusia mempunyai sifat pelupa. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan catatan-catatan (check-list); alat-alat elektronik, seperti tustel, video, tape recorder, dan sebagainya lebih banyak melibatkan pengamat; memusatkan perhatian pada data- data yang relevan; mengklasifikasikan gejala dalam kelompok yang tepat; menambah bahan persepsi tentang objek yang diamati.  Wawancara adalah alat pengumpulan data berupa tanya jawab antara pihak pencari informasi dengan sumber informasi berlangsung secara lisan. Informasi itu 
62 

dapat tuk tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, hasil pemikiran, dan pengetahuan seseorang mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan masalah penelitian. Wawancara berguna untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer); perlengkapan Teknik pengumpulan lainnya; menguji hasil pengumpulan data lainnya. Wawancara sebagai alat pengumpulan data dapat dipergunakan dalam tiga fungsi, yaitu: (1) Sebagai alat pengumpulan data utama; pengumpulan data pelengkap; dan (3) Sebagai alat (2) Sebagai alat pengumpulan data pembanding kebenaran data utama. 
Teknik pengumpulan data dengan cara kuisioner/angket dan tes dapat kita simpulkan bahwa kedua tes tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan data pendukung sebuah penalitian. Namun di antarnya keduanya memiliki plus dan minus masing-masing. Tergantung jenis, keadaan, dan tempat dilakukannya penelitian. Seperti misalnya jika kita melakukan penelitian di tempat yang masih jauh terjangkau teknologi atau pedesaan kita lebih efektif menggunakan jenis kuisoner/angket yang bahsanya dapat disesuaikan dengan bahasa tempat/daerah yang akan diteliti. Selain itu jawaban pada angket ini tidaklah sulit, hanya dengan mencontreng yang dikira pas menurut testee, tidak perlu repot-repot menilis atau menjabarkan jawabannya. Selain itu jika testee-nya lansia atu buta huruf, dapat di bantu dengan orang yang lebih mengerti untuk menbacakan dan mencotreng pilihan yang disebutkan oleh testee tersebut. 











63 

BAB III PENUTUP 

3.1 Kesimpulan 
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai  acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval  yang  ada  dalam  alat  ukur,  sehingga  alat ukur tersebut bila digunakan dalam  pengukuran  akanm  menghasilkan  data  kuantitatif.  Berbagai skala  sikap  yang  dapat  digunakan  untuk  penelitian  Administrasi,  Pendidikan   dan  Sosial yaitu  skala  likert,  skala  Guttman,  Rating  Scale, skala Semantic, skala Sosiometrik, skala Sofsil, skala Bogardus dan skala Penilaian. Dalam pembuatan instrumen penelitian pada  umumnya  perlu  mempunyai  dua  syarat  penting  yaitu valid dan reliabel. 
Skala Likert menggunakan ukuran ordinal, karenanya hanya dapat membuat ranking, tetapi tidak tidak dapat diketahui berapa kali satu responden lebih baik atau lebih buruk dari responden lainnya dalam skala.  Sedangkan skala Guttman Dikembangkan Oleh Louis Guttman dan lebih rumit dari skala Likert dan Thurstone. Skala ini merupakan skala kumulatif dan ordinal, hanya mengukur satu dimensi saja dari satu variable yang multidimensi, karena itu skala ini disebut juga dengan unidimensional.  Skala Guttman merupakan skala kumulatif. Jika seseorang mengiyakan pertanyaan atau pernyataan yang berbobot lebih berat, maka ia juga akan mengiyakan pertanyaan yang kurang berbobot lainnya. Skala Guttman ingin mengukur satu dimensi saja dari suatu variabel yang mutidimensi. 
Skala perbedaan Semantic dikembangkan oleh Osgood, Suci, dan Tannenbaum. Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau untuk mengukur suatu konsep atau objek oleh responden. Skala Semantik ini sama seperti skala Likert. Perbedaannya, skala Semantik disusun dalam skala bipolar yang menyangkut dimensi tiga sifat, yaitu dimensi evaluasi, potensi dan kegiatan. 
Skala sosiometrik dikembangkan oleh J.L Morino dan Helen H yang digunakan dalam suatu kagiatan untuk mengukur penerimaan dan penolakan antarindividu dalam suatu kelompok kecil. Prosdurnya adalah setiap individu diminta untuk menuliskan nama temannya sebanyak dua orang atau lebih untuk 
64 

mewakili temannya dalam suatu kegiatan. Skala Sofsil digunakan untuk memberikan penilaian terhadapa beberapa subjek di luar kelompok yang dinilai oleh audiens/ anggota kelompok yang jumlhnya relative banyak, biasanya minimal 50 orang dengan tujuan untuk menentukan peringkat klasifikasi subjek tersebut.  Skala bogardus dikembangkan oleh Emory S. Bogardus. Skala bogardus digunakan untuk mengukur jarak social, yaitu mengukur derajat pengertian atau keintiman dan kekariban sebagai ciri hubungan social secara umum. Penggunaan skala penilaian ini, variable penelitian yang dipilih secara rinci, disusun berderet ke bawah, sedangkan kategori skalanya disusun ke samping. Tugas penilai melingkari skor berupa angka dalam kategori yang telah disediakan. Kemudian, skor yang dipilih oleh penilai tersebut ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. 
Skala peringkat (rating scale) banyak digunakan dalam penelitian ilmu social khususnya mengenai media massa. Pada penelitian dengan menggunakan skala peringkat, peneliti dapat meminta responden untuk dmembuat peringkat dari suatu daftar seperti daftar elemen program yang dapat digunakan pada suatu program siaran TV atau radio, atau membuat peringkat seberapa suka responden terhadap beberapa orang tokoh public. 
Pengumpulan data adalah prosedur yang sitematik untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Kegiatan pengumpulan data merupakan kegiatan yang cukup melelahkan dan sering mengalami kesulitan. Oleh karena itu, pengumpulan data merupakan kegiatan yang sangat penting dalam suatu penelitian. Teknik pengumpulan data terdiri atas observasi (observation), wawancara (interview), angket (questionary), dan tes tertulis. Observasi, yaitu sebagai alat langsung yang dapat meneliti gejala; observee yang selalu sibuk lebih senang diteliti melalui observasi daripada diberi angket atau mengadakan wawancara; memungkinkan pencatatan serempak terhadap berbagai gejala, karena dibantu oleh Observer lainnya atau dibantu oleh alat lainnya, tidak tergantung pada self-report. observasi adalah banyak kejadian langsung yang tidak dapat diobservasi, misalnya rahasia pribadi observee; observee yang menyadari 
65 

dirinya scbagai objek penelitian cenderung untuk memberikan kesan-kesan yang menyenangkan observer, kejadian tidak selamanya dapat diramalkan, sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama; tugas observer akan terganggu jika terjadi peristiwa tidak terduga, seperti hujan, kebakaran, dan lain- lain: terbatas kepada lamanya kejadian berlangsung Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara). Kelemahan wawancara adalah harus pandai bicara dengan jelas dar benar, orang bisu tidak dapat diwawancarai; waktu, biaya, dan tenaga tidak efisien; sangat tergantung kepada kesediaan interviewee; proses wawancara sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan; untuk objek yang luas diperlukan interviewer yang banyak. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mempunyai keuntungan sebagai berikut salah satu teknik terbaik untuk mendapatkan data pribadi; tidak terbatas pada tingkat pendidikan, asalkan responden dapat berbicara dengan baik saja; dapat dijadikan pelengkap teknik pengumpulan data lainnya; sebagai penguji terhadap data-data yang didapat dengan teknik pengumpulan data lainnya. 
Dari beberapa uraian di atas mengenai teknik pengumpulan data dengan cara kuisioner/angket dan tes dapat kita simpulkan bahwa kedua tes tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan data pendukung sebuah penalitian. Namun di antarnya keduanya memiliki plus dan minus masing-masing. Tergantung jenis, keadaan, dan tempat dilakukannya penelitian. Seperti misalnya jika kita melakukan penelitian di tempat yang masih jauh terjangkau teknologi atau pedesaan kita lebih efektif menggunakan jenis kuisoner/angket yang bahsanya dapat disesuaikan dengan bahasa tempat/daerah yang akan diteliti. Selain itu jawaban pada angket ini tidaklah sulit, hanya dengan mencontreng yang dikira pas menurut testee, tidak perlu repot-repot menilis atau menjabarkan jawabannya. Selain itu jika testee-nya lansia atu buta huruf, dapat di bantu dengan orang yang lebih mengerti untuk menbacakan dan mencotreng pilihan yang disebutkan oleh testee tersebut. 
66 

3.2 Saran  
Berdasarkan uraian diatas mengenai skala pengukuran dan Teknik pengumpulan data, maka pemakalah menyampaikan sarannya sebagai berikut : 1. Untuk pendidik, agar lebih fokus dalam menilai sikap peserta didiknya (siswa) berdasarkan skala pengukuran yang telah tersedia. 2. Untuk mahasiswa, agar lebih teliti dalam membuat sebuah Teknik pengumpulan data penelitian dalam proses penelitian yang dilakukan. 

















67 

DAFTAR PUSTAKA 

Alwan, dkk. (2017). "Faktor-Faktor Yang Mendorong Siswa MIA SMA N Mengikuti Bimbingan Belajar Luar Sekolah Di Kecamatan Telanaipura Kota Jambi". Jurnal Edufisika.2(1):30. 
Arifin, z.2011.Penelitian Pendidikan.Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 
Bansal, S. (2014). “Sociometry-A Conceptual Introduction”. International Journal of Education and Science Research, 147-153. 
Bhattacherjee, Anol. (2012). Social Science Research:Principles, Methods, And Practices. USA: University of South Florida. 
Dessy, T., & Wahyu, O. W. (2013). “Relevansi Kualifikasi Kontraktor Bidang Teknik Sipil Terhadap Kualitas Pekerjaan Proyek Konstruksi Di Provinsi Banten”. Jurnal FondasI, 182-190. 
Djaelani, A. R. (2013). “Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif”. Jurnal Majalah Ilmiah Pawiyatan.20(1):86. 
Hijrah, E. P., & Tawil. (2018). “Pku Bagi Guru Bk Smk Kota Magelang Untuk Meningkatkan Layanan Dan Kinerja Bk Melalui Analisis SosiometriSosiogram”. Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research, 44-50. 
Jayanta, K. N., & Priyanka, S. (2015). Fundamentals of Research Methodology Problems and Prospects. New Delhi: SSDN Publishers & Distributors. 
Kothari, C. (2004). Research Methodology Methods and Techniques (Second Revised Edition). Jalpu(India): New Age Internasional(P) Limited, Publishers. 
Mather, D. M., Jones, S. W., & Moats, S. (2017). “Improving upon Bogardus: Creating a More Sensitive and Dynamic Social Distance Scale”. Survey Practice , vol/ 10, Issue 4. 
68 

Monir, R. V. (2012). “What Is Sociometry and How We Can Apply It in Our Life?”. Advances in Asian Social Science (AASS), 570-573. 
Morgan, G A dan harmon, R J. 2001. “Data Collection Technique”. Journal of the Americana Cademy of Child and Adolescent Psychiatry.ISSN: 0883-0355. 
Morissan. (2012). Metode Penelitian Survei. Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri. 
Nazir. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. 
Royal, K. D. (2010). “Rating Scale Optimization In Survey Research: An Application Of The Rasch Rating Scale Model”. Journal of Applied Quantitative Methods , Vol 5 No. 4 . 
Sekaran, Uma.(2000). Research Methods For Business. Canada: Southern Illinois University at Carbondale. 
Silaen, Sofar., & Widiyono. (2013). Metodologi Penelitian Sosial Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Penerbit IN MEDIA.2013 
Usman, Husaini., & Akbar, P. S. (2014). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 
Yusuf, A. M. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenadamedia Group. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

alat ukur galvanometer